Hari Pertama World Brewers Cup Jakarta: 30 Seduhan, 30 Perspektif tentang Kopi Dunia

Jakarta International Convention Center berubah menjadi altar sakral kopi dunia pada 15 Mei 2025. Di hari pertama penyisihan World Brewers Cup—bagian dari World of Coffee Asia yang pertama kali digelar di Indonesia—sebanyak 30 penyeduh dari berbagai negara menaiki panggung bukan sekadar untuk menyajikan kopi, melainkan juga untuk menyampaikan cerita, warisan, dan penemuan dari asal negaranya masing-masing.

 

Selama dua hari penyisihan, semua peserta diberi kesempatan menyajikan kopi pilihan mereka dalam format Open Service. Mereka bebas memilih biji, metode, alat, bahkan narasi. Dan dari 30 kompetitor hari pertama, setiap orang tampil dengan filosofi yang tidak kalah kompleks dari kopi itu sendiri.

 

Spektrum Asal dan Proses

 

Geisha tetap menjadi varietas primadona di panggung World Brewers Cup—lebih dari 70% peserta hari pertama memilih Geisha sebagai kopi andalan mereka. Varietas ini datang dari kebun-kebun legendaris seperti Janson, Esmeralda, Totumas, hingga Mikava. Namun menariknya, Geisha juga mulai muncul dari negara-negara non-tradisional, seperti Filipina, yang untuk pertama kalinya memperkenalkan Geisha lokal dalam kompetisi ini.

 

Selain Geisha, beberapa peserta membawa varietas langka lainnya. Carlos Escobar dari Kolombia, misalnya, menyeduh Maracaturra dari negaranya sendiri. Ti Phan dari Vietnam tampil dengan narasi kuat tentang kopi lokal—membawa Liberica Vietnam dan menyandingkannya dengan Sidra dan Geisha, sebagai upaya mendefinisikan ulang citra kopi Vietnam di mata dunia.

 

Jonathan Mendoza dari El Salvador menunjukkan keberanian meracik identitas rasa negaranya lewat tiga kopi berbeda: SL28, Orange Geisha, dan Ethiopia Geisha. Tren membawa lebih dari satu kopi dalam satu presentasi memang kian terlihat—termasuk juga dalam bentuk blend, yang digunakan oleh sekitar 40% peserta hari pertama. Mereka memadukan kopi dari kebun atau bahkan negara berbeda untuk menciptakan struktur rasa yang lebih kompleks.

 

Ragam proses pascapanen pun mencerminkan spektrum pendekatan—dari klasik seperti washed dan natural, hingga eksperimental seperti cold fermentation, hydro honey, dan co-ferment. Tom Hutchins dari Australia, misalnya, menyajikan Sudan Rume dari Kolombia yang melalui proses co-ferment bersama Enigma Hops yang spesial diambil dari negara asalnya sebelum akhirnya diinokulasikan. Inovasi-inovasi ini tidak hanya memperkaya profil rasa, tetapi juga membuka diskusi baru tentang kontrol mikroba, stabilitas fermentasi, dan peran sains dalam eksplorasi cita rasa kopi.

 

Yang tak kalah mengesankan adalah semangat beberapa peserta yang secara sadar memilih membawa kopi dari negara asal mereka sendiri—sebuah pernyataan kebanggaan dan upaya memperkenalkan terroir lokal ke panggung dunia. Kolombia, El Salvador, Bolivia, Panama, Vietnam, dan Filipina menjadi contoh negara-negara yang diwakili tak hanya oleh individu, tetapi juga oleh biji kopi tanah mereka sendiri. Di balik setiap cangkir, ada semangat kolektif untuk membawa pulang perhatian dunia pada asal mula rasa.

 

Ketika Sains Bertemu Imajinasi: Alat, Gagasan, dan Seni Seduh di Panggung Dunia

 

Salah satu daya tarik utama dari World Brewers Cup adalah pertemuan antara presisi ilmiah dan ekspresi artistik. Setiap penyeduh bukan hanya bertarung dengan teknik dan waktu, tetapi juga memperlakukan setiap cangkir sebagai medium cerita dan kreativitas. Lokis Psomas dari Swedia, misalnya, memperkenalkan pendekatan “Reverse Bloom”—membalik urutan blooming untuk membangun struktur rasa baru. Di sisi lain, Sungduk Kim dari Korea Selatan menjadikan proses menyeduh sebagai metafora tumbuh kembang anak, menyandingkan kopi dengan gagasan tentang lingkungan sehat dan masa depan yang berkelanjutan.

 

Tak sedikit kompetitor yang menyilangkan kopi dengan disiplin lain: Eric So dari Hong Kong memadukan kopi dan musik dalam narasi “harmony,” George dari China mengeksplorasi relasi antara suhu dan rasa, sementara Liza Skrypnyk dari Ukraina bereksperimen dengan pemanas V60 berbahan tembaga untuk mengatur dinamika rasa. Beberapa bahkan menciptakan alat mereka sendiri: Binocular dripper dari Mariam Erin dari UAE yang menggunakan teknik wet blending, serta Ti Phan dari Vietnam juga memodifikasi Vietnam drip menjadi dripper baru yang mengakomodasi karakter kopi kontemporer. Tak kalah menarik Daiki Hatakeyama dari Jepang yang menampilkan penyeduhan dengan cloth filter tradisional namun tetap berbasis kopi spesialti.

 

Eksplorasi alat seduh pun sangat luas. Nama-nama seperti Hario, Origami, dan Orea masih mendominasi, tapi turut hadir produsen dripper baru seperti Graycano, UFO, dan berbagai dripper custom-made yang hanya dikenal di lingkaran komunitas terbatas. Melodrip dan Sibarist tampaknya telah menjadi protokol baru dalam mengatur aliran air dan tekstur seduhan, sementara Server Cyclone dari Icosa menjadi server pilihan terbanyak hari ini. Untuk urusan drinkware, para kompetitor menunjukkan keberanian yang sama—dari sensory cup buatan Origami, two-way cups, hingga fantasy cups dan gelas-gelas rancangan khusus untuk mendukung narasi rasa mereka.

 

Menanti Sisa Kompetitor dan Babak Final

 

Masih ada 20 peserta lagi yang akan tampil di hari kedua penyisihan. Mereka akan menghadirkan kisah baru—barangkali lebih subtil, lebih liar, atau lebih tenang—tapi tetap dengan tujuan yang sama: menyeduh kopi yang mampu menyentuh nalar dan rasa secara bersamaan.

 

Final akan digelar pada 17 Mei dengan tambahan Compulsory Service, babak di mana semua peserta mendapat kopi yang sama tanpa tahu identitasnya, lalu harus menyeduh dan menyajikannya secara adil. Di situlah teknis akan diuji murni, tanpa narasi dan biji unggulan.

 

Catatan Penutup

 

Hari pertama World Brewers Cup 2025 di Jakarta bukan sekadar kompetisi. Ia adalah arsip hidup dari perkembangan budaya seduh global, tempat di mana setiap cangkir mengandung makna, dan setiap tetes menyampaikan sesuatu—tentang asal, keahlian, dan keberanian membayangkan ulang masa depan kopi.