Hari Kedua World Brewers Cup Jakarta: 20 Penyeduh Terakhir dan 9 Finalis Menuju Panggung Penentuan
Gelombang kedua kompetitor World Brewers Cup 2025 resmi tampil hari ini di Jakarta International Convention Center. Sebanyak 20 penyeduh terakhir menutup babak penyisihan dua hari dengan intensitas yang tak kalah dari hari sebelumnya. Dari benua Amerika hingga Asia Tenggara, setiap peserta membawa bukan hanya kopi terbaik, tetapi juga semangat, eksperimen, dan cerita yang menjembatani tempat asal mereka dengan panggung dunia.
Kopi, Identitas, dan Rasa yang Diperjuangkan
Geisha kembali menjadi varietas primadona di hari kedua penyisihan—sama seperti hari pertama, lebih dari 70% peserta hari ini memilih Geisha sebagai kopi andalan mereka. Namun, kehadiran peserta seperti Martin Guayasamin dari Ekuador yang menyeduh Typica Mojerado dari Finca Maputo, Thiago Sabino dari Brasil dengan Yellow Catuai dari Casa da Brasa Farm, Raul Rodas dari Guatemala dengan El Injerto, dan Mannuel Pinnola dari Venezuela yang memperkenalkan kopi dari Finca Rosario menunjukkan bahwa World Brewers Cup bukan sekadar soal kopi terbaik, melainkan tentang representasi tanah kelahiran.
Dari Indonesia, Bayu Prawiro tampil dengan percaya diri. Ia menyeduh kombinasi Geisha Panama dan Excelsa dari Sukawangi—dengan upaya artistik yang ia sebut sebagai “fotografi dalam seduhan”. Tak hanya menampilkan teknik yang rapi, Bayu juga menyampaikan pesan tersirat tentang bagaimana kopi lokal Indonesia memiliki tempat di panggung global.
Elysia Tan, kompetitor dari Singapura, juga menghadirkan kopi Indonesia dalam presentasinya. Ia menggabungkan Geisha dari Panama dengan Liberika dari Temanggung dalam kerangka konsep yang menganalogikan menyeduh kopi sebagai membangun rumah—dari fondasi hingga detail exterior.
Sementara itu, peserta seperti Eduard Inocencio dari Qatar, Suki Ma dari Swiss, dan Laura Coe dari Spanyol menyuguhkan pengalaman yang lebih personal dan reflektif, menjadikan kopi sebagai
bahasa untuk menyampaikan gagasan tentang mimpi, takdir, dan cinta.
Alat, Teknik, dan Imajinasi
Eksplorasi proses pascapanen terus berlanjut. Hybrid CM Washed, Thermal Shock, dan Mossto Natural menjadi pendekatan yang memperluas spektrum rasa hari ini. Peralatan seduh yang digunakan menunjukkan tren kuat pada hybrid dripper, seperti Hario Switch dan April Hybrid Brewer, yang mendominasi panggung.
Beberapa peserta bahkan membawa dripper buatan sendiri. Allen Chen dari Taiwan dan Luca Croce dari Inggris, misalnya, tampil dengan alat custom yang memberi dimensi baru dalam kontrol ekstraksi. Dripper pour-over seperti Graycano, Orea, dan Hario Flow juga menjadi pilihan yang banyak digunakan, menandakan pergeseran selera terhadap alat-alat yang lebih moderni.
Tidak ketinggalan, inovasi juga hadir dalam drinkware. Two-way cups, fantasy cups, hingga harmony cups menunjukkan bahwa pengalaman minum kopi tak hanya berhenti di lidah—tetapi juga melibatkan sentuhan, visual, dan cerita yang menyertainya.
Inilah 9 Finalis World Brewers Cup 2025
Setelah seluruh penyeduh tampil, panitia resmi mengumumkan sembilan nama yang akan melaju ke babak final pada 17 Mei 2025:
Alireza – Turki
Lokis Psomas – Swedia
Raul Rodas – Guatemala
George Jinyang Peng – Cina
Carlos Escobar – Kolombia
Andrea Batacchi – Itali
Elysia Tan – Singapura
Bayu Prawiro – Indonesia
Justin Bull – Amerika
Penutup: Menuju Hari Penentuan
Babak final akan digelar dalam dua format: Open Service dan Compulsory Service. Di satu sisi, para finalis akan kembali menyeduh kopi pilihan mereka. Di sisi lain, mereka akan dihadapkan pada kopi misterius yang belum pernah mereka cicipi sebelumnya—disajikan tanpa nama, tanpa informasi, dan hanya bisa dihadapi dengan insting, pengetahuan, dan kepekaan sensorik.
Inilah ujian sejati dari seorang penyeduh manual: menyampaikan sesuatu tanpa kata-kata, dengan medium yang universal namun kompleks—secangkir kopi.
Sembilan finalis telah menyeduh dengan keberanian dan dedikasi. Besok, mereka akan menyeduh sekali lagi—bukan sekadar untuk menang, tetapi untuk mengukir sejarah. Dan mungkin saja, sang juara tahun ini datang dari kejutan. Atau barangkali, dari seseorang yang sudah kita kenal sejak hari pertama: Bayu, dari Indonesia.