Di atas meja ada secangkir kopi washed yang aromanya manis, rasa asam buahnya mirip kopi natural tapi lebih jernih. Langsung terbayang sebuah kebun yang indah, yang dirawat dengan penuh cinta. Hanya buah cherry merah yang dipetik melalui jerih payah petani yang kemudian diproses dengan ketelitian tinggi.
Jujur, romantisme di atas terlalu mengada-ada. Malah cenderung menutup mata terhadap kondisi sebenarnya di hulu. Kenyataannya, para pengolah kopi berjibaku dengan perubahan alam, waktu, biaya, dan tenaga kerja sepanjang musim panen. Jauh dari kondisi ideal, seringkali cherry yang diterima tidak seragam. Jarak kebun yang jauh dan keterbatasan jumlah pekerja juga membuat cherry menumpuk dan baru bisa diolah keesokan harinya. Selain harus berhadapan dengan kenyataan di hulu, ada tuntutan hilir soal kualitas dan cita rasa. Bayangkan, rumitnya pekerjaan seorang pengolah. Tetapi, haruskah kerumitan ini diromantisasi? Adakah solusi-solusi yang dapat membantu kerumitan ini agar dihadapi dengan lebih sederhana?
Di bulan Juni 2023 ini, Puntang, Jawa Barat menjadi lokasi Fermentation Training Camp (FTC) pertama di Asia setelah sebelumnya selalu dilakukan di Colombia, Amerika Latin. Selain diikuti oleh para produsen lokal (Gayo, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, dan Papua), FTC ini menjadi pilihan yang lebih dekat bagi para pelaku kopi hulu dan hilir dari India, Malaysia, Timor Leste, dan Australia.
Sebagian peserta telah mengenal Lucia Solis melalui podcast dan patreon “Making Coffee with Lucia Solis.” Platform ini telah berjalan selama 4 tahun sebagai tempat untuk berkomunikasi dengan para produsen kopi dengan topik seputar fermentasi, perkembangan metode pengolahan kopi, kesetaraan dan keberlanjutan.
Awalnya, Lucia Solis belajar viticulture dan enology di UC Davis dan bekerja sebagai pengolah wine di Napa Valley. Lalu sembilan tahun kemudian bekerja dengan berbagai produsen kopi di Amerika Latin. Pengalaman ini memberinya perspektif unik yang mengombinasikan mikrobiologi dan filosofi dalam praktek pasca panen.
Lucia Solis sendiri tidak memilih fokus pada peningkatan cita rasa dan skor cupping untuk skala kompetisi, tetapi lebih fokus pada kualitas pengolahan yang dapat direproduksi secara konsisten dalam beragam skala. Baginya, kesederhanaan dapat dilakukan ketika seorang pengolah mau memahami kondisi lapangan dan pengetahuan fundamental. Tidak heran, di FTC ini peserta tidak diajari untuk mencari kesempurnaan dalam pengolahan kopi, bahkan tidak diberikan resep tahap-tahap pengolahan yang “benar”. Sebaliknya, mereka dibekali pengetahuan fundamental yang cukup mengubah pola pikir lama agar mereka bisa membuat keputusan sendiri secara sadar.
Kami akan ceritakan poin-poin seru di FTC yang lumayan membuka perspektif baru atas pola pikir lama di industri kopi, fermentasi dan pengolahan kopi.
Bekerja berdampingan dengan mikroba
Menurut pustaka dan studi literatur tentang produksi kopi pada abad ke-20, fermentasi merupakan sebuah proses yang dihindari karena menghasilkan aroma dan rasa yang tidak sedap. Secara tradisional, fermentasi hanya digunakan sebagai salah satu proses untuk melepaskan mucilage. Kemudian, mesin demucilager yang muncul di pertengahan abad ke-20 semakin menghilangkan peran fermentasi.
Kini, banyak orang menyadari bahwa fermentasi dapat meningkatkan cita rasa kopi. Sayangnya, mikroba sebagai pemain utama masih sering terlupakan. Selain karena mikroba tidak terlihat, fermentasi masih dianggap hanya sebagai salah satu bagian dari proses pengolahan. Hal ini menyebabkan banyak pengolah lebih fokus pada alat pengukuran, wadah fermentasi, dan variabel yang bersifat relatif.
Namun, selama praktek dan diskusi kelas di FTC, peserta memperoleh pemahaman menyeluruh bahwa mikroba selalu berperan mulai dari saat buah kopi dipetik, diolah, dikeringkan dan disimpan.
Misalnya, cherry yang terlalu matang (overripe) ternyata menambah persaingan antar mikroba yang menyebabkan mikroba jadi stress. Ciri-ciri mikroba stress adalah keluarnya aroma tidak sedap dari dalam tangki fermentasi. Selain itu cherry yg terlalu matang juga meningkatkan resiko kontaminasi dari proses pembusukan. Sebaliknya, cherry hijau atau muda (underripe), meskipun minim, tetap memiliki bahan makanan yang dibutuhkan oleh mikroba namun dengan resiko kontaminasi yg lebih kecil. Pada tahap awal ini peserta diberikan spektrum yang cukup luas untuk memilih mana warna cherry yang masih aman untuk masuk produksi, sesuai dengan target yg ingin dicapai, setelah memahami dasar2 dibalik pengambilan keputusan tersebut.
Peserta juga jadi paham alasan di balik keputusan untuk merendam atau tidak merendam cherry yang baru datang. Merendam cherry bisa mengurangi persaingan mikroba tapi juga mengurangi gula yang jadi makanannya. Di sisi lain, merendam cherry juga berguna untuk menyamakan kelembapan cherry dari berbagai kebun dalam waktu terpisah. Di sini peserta jadi dapat membuat keputusan yang sadar, lebih dari sekedar memilh istilah metode pengolahan.
Selama di FTC, perhatian peserta tidak pernah lepas dari bagaimana memperlakukan mikroba di pasca panen. Selain diperkenalkan kembali dengan parameter-parameter kontrol yang diperlukan untuk memantau proses fermentasi, aktivitas fermentasi difokuskan pada pengkondisian mikroba, mulai dari pemilihan jenis mikroba yang akan mendominasi dalam proses fermentasi. Pernyataan bahwa rasa kopi itu tergantung dari metode pasca panen jadi terasa kurang lengkap. Perlakuan terhadap mikroba-lah yang membuat kopi jadi memiliki rasa yang unik.
💡 Evolusi perkembangan studi ilmiah fermentasi di kopi.
Kesederhanaan menciptakan konsistensi
Selain kualitas cita rasa, konsistensi rasa pasti selalu dicari. Tapi bagaimana caranya mengejar konsistensi jika banyak yang harus dipertimbangkan? Di FTC, peserta diajak meminimalisir ketidaksederhanaan dengan melepaskan segala unsur “keharusan” dan mulai bekerja dengan apa yang tersedia.
Saat diskusi di kelas, banyak sekali cerita bahwa pengolah merasa harus menjemur cherry sebulan penuh untuk melakukan proses natural, pengolah harus menggunakan tangki stainless steel kedap oksigen dan memonitor pH meter secara ketat selama fermentasi, atau menjawab permintaan pembeli yang menyarankan metode pasca panen tertentu untuk menghasilkan cita rasa tertentu.
Kesederhanaan mulai tampak di waktu praktek, peserta hanya menggunakan selembar plastik sebagai penutup permukaan air fermentasi untuk menjaga fermentasi yang menggunakan yeast agar terhindar dari kontaminasi. Walaupun tanpa tutup kedap dan alat yang mahal, angka oksimeter menunjukkan level oksigen yang sangat rendah dalam larutan fermentasi, menandakan kondisi anaerob tetap terjaga.
Peserta juga belajar melakukan proses-proses sederhana yang membutuhkan lebih sedikit langkah dan sumber daya seperti alat, tenaga kerja, ruang dan waktu.
Pada lactic process, peserta tidak harus mencari mikroba utama di luar kopi untuk ditambahkan ke dalam tangki. Proses ini hanya membutuhkan lingkungan untuk bakteri asam laktat dengan menambahkan garam tanpa iodium atau garam NaCl sebesar 2% dari berat gabah basah. Dengan kesederhanaan ini, lactic process bisa jadi alternatif mudah di kala pengolah ingin menggunakan mikroba yang sudah ada pada kopi.
Kemudian, jika ingin tahu bagaimana rasa varietas pada kopi, tidak perlu membuang kapasitas tenaga dan bahan cherry dengan mesin demucilager. Peserta bisa melakukan citric process, yaitu menggunakan perasan lemon atau serbuk citric acid yang dapat membersihkan mucilage dalam waktu hanya kurang dari satu jam.
Lucia sendiri menggunakan yeast (ragi) komersial seperti Cima dan Intenso untuk menyederhanakan variabel dan menghasilkan konsistensi. Dengan menggunakan ragi yang sudah ia kenal, pengukuran brix dan pH hanya menjadi indikator tren, bukan penilaian keberhasilan fermentasi. Selain itu, Lucia lebih mengedepankan panca indera untuk mengamati gelembung CO2 sebagai tanda ragi sedang aktif, mencium aroma, dan mencicipi air fermentasi untuk memeriksa apakah fermentasi masih perlu diteruskan atau sudah waktunya dicuci. Ketika pengolah memiliki alasan kuat, semua alat dan parameter menjadi relatif, tergantung pada kebutuhan dan tujuan mereka.
Penggunaan ragi komersial ini bukanlah suatu keharusan. Lucia memilih kedua strain ragi ini karena sudah mengenal karakteristik dan metabolisme ragi tersebut sebagai dasar pelatihan. Ia justru lebih menekankan pada kesederhanaan proses dan konsistensi. Menurutnya, peserta bisa menggunakan mikroba liar asalkan mereka mau menginvestasikan waktu untuk mengenalnya dengan mengujinya dalam beberapa eksperimentasi kecil dan mencatat tren pergerakannya sebelum memproduksinya secara besar. Atau bisa menggunakan ragi komersial lainnya jika sudah mengenal karakteristik ragi tersebut di lapangan. Dalam diskusi di kelas, peserta bercerita soal bagaimana pengolah rela mengupayakan proses yang rumit dengan tujuan ingin mencapai harga tinggi. Seketika, pola pikir ini dibalik ketika Lucia bicara soal efisiensi.
“Saya bekerja dengan klien untuk mengurangi biaya, (misalnya) jika kami memiliki lebih sedikit tenaga kerja atau jika kami menggunakan lebih sedikit air, atau jika kami dapat menyimpan waktu mereka sehingga mereka memiliki lebih banyak waktu untuk berkebun. Lebih mudah untuk mengukur penghematan tersebut daripada mengukur seberapa banyak lagi kita bisa menjual kopi. Jadi saya fokus pada mendesain efisiensi. Itulah yang saya lihat dari kesederhanaan.“
Ternyata menyederhanakan proses bisa jadi nilai tukar untuk penghematan biaya produksi dan waktu, yang nantinya berpengaruh terhadap keberlanjutan sumber daya alam seperti air dan kebun.
💡 Nantikan artikel : Reportase proses dan kopi hasil FTC4!
Mempertanyakan kembali terminologi yang membatasi
Memberikan label, istilah khas atau terminologi untuk mengekspresikan nilai dari kopi memang dapat menciptakan prekonsepsi terhadap rasa kopi dalam benak konsumen. Hal serupa juga terjadi pada pengolah kopi. Permintaan dan pembicaraan mengenai istilah-istilah tertentu di pasar membuat para pengolah berusaha mengejar cita rasa yang unik. Tidak ada yang salah dalam upaya ini. Pada kenyataannya, berkat labeling ini, semakin banyak orang menghargai proses dan rasa kopi, semakin meningkat pula konsumsi kopi per kapita.
Namun di tengah pengejaran cita rasa luar biasa dengan istilah rumit ini, ada kerja-kerja pengolahan yang juga semakin tidak sederhana. Ketidaksederhanaan yang justru membatasi pengolah untuk bebas memilih metodenya atas dasar kondisi lingkungannya, menghasilkan kualitas yang konsisten, menghemat biaya produksi, tenaga kerja, dan memiliki waktu lebih di kebun. Beberapa diskusi dalam FTC ini tidak bersifat menyalahkan maupun membenarkan beberapa istilah pasca panen. Diskusi ini bermaksud membuka persepsi lain tentang fungsi-fungsi bahasa yang lebih mendasar pada tujuan dan manfaat pasca panen itu sendiri.
Persepsi tentang Yeast Coffee
Lorena Segura, salah satu sukarelawan yang bekerja sebagai barista di Ona Coffee dan pernah menjadi peserta FTC3 di Rizaralda, Colombia menceritakan kondisi skena kopi di Australia.
“Orang-orang yang melihat label koleksi “yeast coffee” akan mengharapkan kopi yang luar biasa dan mengagumkan seperti 90 Plus. Mereka menganggap bahwa setiap kopi yang melibatkan inokulasi ragi adalah untuk mencapai rasa yang unik. Namun, kita juga harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti biaya tenaga kerja, konsistensi, dan pemecahan masalah di kebun. Kita bisa mendapatkan kopi yang tidak terlalu unik (dengan penggunaan ragi), tetapi kita bisa mendapatkannya secara konsisten, tahun demi tahun. Semuanya tergantung pada bagaimana orang-orang mempersepsi “yeast coffee.””
Maksud Lorena adalah bagaimana persepsi pelaku kopi dan konsumen tentang ragi hanya terbatas pada fungsi pemasaran saja. Pelaku kopi terus mengajarkan konsumen bahwa penggunaan ragi dalam kopi menghasilkan rasa yang luar biasa. Demikian pula dengan para pengolah, mereka masih menganggap penggunaan ragi dalam proses pasca panen sebagai cara untuk menciptakan cita rasa yang unik. Hal ini tercermin dalam kata-kata Lucia,
“Melabeli kopi sebagai “yeast coffee” lalu mengharapkan kegilaan dari konsumen, akan membuat produsen juga terus mengejar kegilaan.”
Dari diskusi ini, terdapat niat untuk mencoba membuka persepsi yang belum disadari oleh banyak orang; Tujuan penggunaan ragi adalah untuk menjadikan proses produksi lebih sederhana dan konsisten dengan meminimalkan variabel yang fluktuatif, seperti tingkat kematangan buah cherry yang berbeda-beda, serta mengurangi penggunaan
alat produksi yang mahal, biaya tenaga kerja, dan waktu produksi. Ketika pengolah menyadari fungsi fundamental ini, mungkin kata “yeast” tak lagi seistimewa sekarang. Dari sini sudah terbayang mungkin pada suatu saat, semua pengolah akan terbiasa menggunakan “yeast” seperti menggunakan papan jemur biasa. Kita bisa melihat buktinya pada industri makanan olahan, seperti produksi tahu yang terbiasa memakai ragi, tapi tidak pernah terlalu mengistimewakan proses tersebut. Tentunya, untuk membangun persepsi ini dibutuhkan lebih banyak edukasi dan komunikasi, terhadap apa pun istilah yang digunakan.
Berbeda dengan pandangan Lorena yang ingin mencoba membuka persepsi, Lucia berpendapat bahwa kita bisa membebaskan diri dari pelabelan yang fokus pada istilah proses yang justru membatasi.
“Tidak ada aturan yang mengharuskanmu mengatakan prosesnya. Saya pikir catatan rasa saja sudah cukup. Saya pikir mengetahui rasa kopi adalah hal terpenting yang dicari konsumen. Saya ingin tahu apakah kopi tersebut lebih ke anggur, sitrus atau cokelat.
Kategori-kategori besar seperti itu adalah yang paling penting bagi kebanyakan konsumen. Kita bisa menjual kopi kita dengan rasa khas.”
Yang dimaksud dengan membatasi di sini adalah membatasi kebebasan pengolah dalam memilih metode pasca panen yang ingin digunakan. Para pelaku kopi selalu berupaya melatih konsumen bahwa proses tertentu akan menghasilkan rasa tertentu. Namun, ketika konsumen mengharapkan rasa tersebut dari proses yang sama, seringkali sulit untuk memenuhinya karena banyak faktor di lapangan yang membuat kopi serupa sulit diproduksi lagi. Jika pembeli sudah menuntut sesuatu yang luar biasa, pengolah kehilangan kebebasan dan fleksibilitas untuk melakukan hal yang berbeda.
Dari diskusi ini, sebenarnya semua peserta bebas mau memberi nama pada kopi sesuai keinginan mereka. Namun, penting untuk menyadari adanya persepsi-persepsi lain. Selalu ada pedang bermata dua di balik setiap istilah, bukan hanya “yeast coffee”, tetapi juga istilah-istilah lainnya yang juga memiliki konsekuensi.
Bias pada istilah Overfermented
Selama diskusi, para peserta juga membahas tentang terminologi yang sering digunakan untuk mengekspresikan adanya kesalahan terhadap rentang waktu fermentasi yang panjang. Menurut Lucia, banyak orang memiliki persepsi bahwa fermentasi seharusnya tidak memakan waktu lama, yang pada akhirnya membatasi fleksibilitas pengolah dalam bereksperimen dengan fermentasi yang lebih lama.
Menurutnya, kesalahan dalam fermentasi tidak berkaitan dengan lamanya waktu. Aroma fermentasi dapat menjadi tidak enak hanya dalam lima menit pertama.
Kemungkinan bukan karena fermentasi itu sendiri, tetapi karena faktor-faktor seperti kondisi kebun, cherry, kadar air, lingkungan di dalam bak atau tangki, kebersihan peralatan, dan bahkan proses pengeringan dan penyimpanan.
Terminologi ini juga menurutnya muncul karena bias yang disebabkan oleh ketidaksukaan terhadap atribut tertentu, bukan karena tahu apa yang terjadi di lapangan. Terlebih lagi, yang menyebutkan bukanlah para pengolah itu sendiri. Lucia sendiri lebih memilih menggunakan kata-kata yang langsung dan memberikan pemahaman yang jelas tentang rasa kopi, yang dapat dipahami dengan mudah oleh semua orang.
“Jadi daripada mengatakan overferment, saya lebih suka hanya menjelaskan cacatnya, mengatakan bahwa rasanya seperti alkohol, cuka, buah yang busuk, beraroma winey, whisky, atau apapun.”
Menyebutkan rasa secara subjektif bisa jadi lebih jujur dan baik daripada menyembunyikan ketidaksukaan di balik kata overferment. Selain itu, hal ini juga membuka kemungkinan bahwa setiap orang memiliki preferensi dan interpretasi yang berbeda terhadap rasa. Ada yang mungkin menyukai rasanya dan itu tidak menjadi masalah. Ada juga yang menggunakan rasa sebagai refleksi untuk mengevaluasi kekeliruan yang hanya dapat dijawab oleh pengolahnya sendiri. Jika demikian, maka ini merupakan pertanda yang baik untuk memulai diskusi tentang kebun, fermentasi, penjemuran – tanpa menyalahkan satu proses pasca panen tertentu.
Kita juga bisa menggunakan istilah yang lebih umum untuk menggantikan overfermented yaitu “overprocessing”. Menurutnya, kesalahan bisa terjadi di mana saja tanpa menyalahkan satu proses tertentu seolah-olah mengetahui apa yang terjadi.
Meskipun Lucia sering menggunakan kata tersebut untuk menjelaskan tentang kesederhanaan langkah pengolahan, ia juga mengingatkan bahwa kata “over” yang
masih terkait dengan pasca panen, masih akan digunakan orang untuk mengekspresikan ketidaksukaan, bukan pemahaman yang sebenarnya di lapangan. Mendiskusikan istilah memang tidak akan ada habisnya. Tetapi dengan dinamika diskusi yang sehat dan tidak judgemental seperti ini, peserta jadi punya pilihan terbaik bagaimana menamai sesuatu dengan landasan dan konsekuensinya. Jika suatu istilah tersebut mulai membatasi diri, maka sudah saatnya mencari pilihan nama lain yang masih bisa menciptakan value produknya.
FTC and what’s next? Kami tidak berhenti sampai di sini jika semesta mendukung.
Setelah empat hari di Puntang melakukan praktek dan diskusi, banyak peserta yang merasa sudah tidak sabar untuk mencoba memulai pasca panen dengan pola pikir baru. Di FTC ini, mereka merasa telah banyak belajar untuk menjadi pengolah yang memiliki dasar kuat untuk menentukan metode pengolahan sendiri dan membela pilihannya. Dengan memahami mikroba dan pasca panen secara fundamental, segala langkah dapat dilakukan dengan lebih sederhana. Selanjutnya, landasan ini akan digunakan para pengolah untuk melakukan berbagai eksperimen dan inovasi di tempatnya masing-masing. Dan selanjutnya, FTC ini juga jadi titik awal kami untuk melakukan segala hal yang terbaik untuk industri kopi melalui pertukaran cerita, informasi dan diskusi. Semoga semesta mendukung!
Pesan-pesan mencerahkan dari para peserta FTC
Leave a Reply