Reportase – Hasil Proses Pengolahan Kopi Fermentation Training Camp

16 Juni 2023 menjadi hari terakhir FTC 4. Puji Tuhan, semesta mendukung. Langit cerah selama empat hari itu sangat membantu kelancaran proses pembelajaran yang sangat berharga ini. FTC ditutup dengan rasa syukur yang mendalam. Tapi ceritamya tidak pernah berakhir. Masih banyak pekerjaan, pertemuan, obrolan, dan rencana setelahnya.

Salah satunya adalah terus melaporkan perkembangan olahan kepada para peserta FTC melalui WA group, dari soal penjemuran, pengupasan kering, kadar air, perlu tidaknya resting, sampai pengemasan green bean. Beberapa hal lainnya adalah tentu saja kami ingin berbagi semua cerita tentang FTC, fermentasi, dan pengolahan kopi.

Kali ini, kami ingin menceritakan proses pengolahan kopi di FTC secara lebih detail. Tulisan ini semacam sebuah laporan yang sengaja kami susun dengan sangat transparan. Harapannya adalah siapa pun yang membacanya jadi tahu apa saja yang sebenarnya terjadi, termasuk ketika ada kesalahan atau kekurangan dalam setiap proses, sehingga bisa dijadikan catatan penting buat mereka yang ingin mempraktekkan proses yang sama dengan lebih baik lagi.

Gabah kering hasil olahan peserta FTC yang masih mencapai kadar air rata-rata 16%.

Bahan Cherry yang Digunakan

Anomali iklim telah menggeser bulan Juni di Jawa Barat ke dalam periode waktu akhir panen, membuat bahan cherry pada FTC ini tidak seragam. Beberapa cherry terlalu matang (overripe) atau terlalu hijau (underripe). Dengan bantuan cherry maturation board sederhana, peserta dapat memilih tingkat kematangan cherry dengan rasio 65% cherry ideal, 20% cherry matang, dan 10% cherry merah kehijauan yang sudah agak kenyal.

Meski tidak sempurna seperti yang direncanakan, Lucia Solis tidak menganggapnya sebagai masalah.

This is not ideal. But we live in the real world, we don’t live in a lab where we can control everything, some pulp is always going to get in there to really hard to work, but we still want to minimize it.

Sebisa mungkin, cherry yang terlalu matang tidak dipilih karena bisa menambah persaingan mikroba dan memicu aroma yang tidak diinginkan pada fermentasi. Sementara itu, cherry merah kehijauan masih bisa dipilih karena tidak banyak mempengaruhi fermentasi. Hanya saja perlu dilakukan sortasi setelah pencucian.

Dengan memanfaatkan bahan cherry yang tersedia, peserta kemudian melakukan tiga proses pasca panen sebagai modul latihan, yaitu citric process, yeast process dengan menggunakan dua strain yeast berbeda yaitu Cima dan Intenso, dan lactic process. Kami akan membahas cara dan hasil dari masing-masing proses ini. Yang lebih penting, peserta jadi mengetahui tujuan dari setiap metode proses yang dilakukan.

1. Citric Process

Citric process adalah cara sederhana untuk mengolah kopi tanpa fermentasi dengan tujuan mendapatkan transparansi cita rasa dari varietas kopi. Caranya adalah dengan menurunkan pH rendaman menggunakan bubuk citric acid (asam sitrat) atau perasan/jus lemon untuk mendegradasi mucilage. Proses ini dapat diselesaikan dalam waktu beberapa jam saja.

Jika pengolah ingin mengetahui karakter varietas kopinya tetapi tidak memiliki mesin demucilager, proses ini menjadi pilihan yang sangat mudah dilakukan. Citric process juga bisa dijadikan base control sebelum pengolah memutuskan melakukan proses-proses eksperimental lainnya terhadap suatu varietas kopi. Bisa jadi, pengolah memilih citric process saja setelah tahu rasa kopi aslinya sudah cukup menarik daripada diberi perlakuan fermentasi.

Apa bedanya dengan washed process? Dalam washed process, degradasi mucilage dilakukan oleh mikroba dengan enzimnya, namun setelah itu mereka menghasilkan rantai makanan dan menghasilkan metabolit lanjutan sehingga terjadi fermentasi. Sedangkan citric acid memutus rantai dan membersihkan mucilage agar tak terjadi fermentasi. Jika mikroba melakukan pemecahan secara biologis, citric acid melakukan pemecahan kimiawi yang hampir mekanis seperti mesin demucilager.

Di FTC ini, peserta mencoba proses ini dengan menggunakan 2% citric acid dari berat gabah basah yang akan diproses. Sebanyak 2kg citric acid ditambahkan ke tangki yang berisi +/- 100kg gabah basah yang direndam. Kemudian dibiarkan selama beberapa jam sebelum dicuci bersih dan dijemur di hari yang sama.

Sebagai pembanding, peserta juga mencoba menggunakan perasan lemon dengan kekuatan pH 2 untuk memproses gabah basah dalam skala kecil. Dengan beberapa kali gosokan tangan, mucilage mudah meluruh dari gabah dalam waktu hanya beberapa menit dan sudah siap dicuci. Perbandingan ini untuk menunjukkan performa pH antara citric acid dan perasan lemon. Jika peserta ingin menggunakan buah-buahan asam lainnya, disarankan untuk memeriksa pH karena tidak semua buah yang asam memiliki pH serendah serbuk citric acid.

Namun, ternyata meluruhkan mucilage di tangki yang berisi +/-100kg gabah tidak semudah ketika dilakukan di skala kecil. Setelah beberapa jam, peserta masih belum puas dengan hasilnya karena masih ada mucilage yang menempel kurang lebih 10%. Namun karena keterbatasan waktu, peserta mencucinya dan menjemurnya.

Dalam diskusi kelas dijelaskan bahwa peluruhan mucilage pada citric process kali ini tidak terlalu berhasil karena rasio keasaman dan lapisan lendir gabah tidak seimbang. Mungkin sebaiknya citric process dilakukan dalam percobaan skala kecil hanya untuk mendapatkan base control dari varietas kopi tersebut. Faktor lainnya adalah varietas kopi yang diproses memiliki mucilage yang sangat tebal dan lengket (dugaan pada varietas lini S).

Meskipun kurang berhasil, percobaan citric process pertama ini akan menjadi catatan penting saat dibandingkan dengan hasilnya. Kemungkinan besar, cita rasa yang akan dihasilkan citric process kali ini masih akan terpengaruh oleh fermentasi kering pada penjemuran. Hasil dari citric process ini telah dijemur selama 22 hari.

Terlihat warna gabah kering tidak terlalu bersih seperti yang diharapkan dari citric process sebenarnya, sebagai catatan penting bahwa citric process kali ini masih dipengaruhi oleh aktivitas fermentasi pada saat penjemuran.

2. Yeast Process (Cima & Intenso)

Praktek yeast process ini menggunakan Cima dan Intenso. Cima dan Intenso adalah dua strain ragi yang berbeda, masing-masing dengan karakteristik yang unik. Kedua strain ini memiliki variasi dalam hal profil rasa, kecepatan fermentasi, dan toleransi terhadap kondisi tertentu. Dengan demikian pengolah kopi dapat memilih strain ragi yang sesuai dengan kondisi lapangan dan profil rasa yang mereka ingin kejar.

Sebelum memasukkan yeast ke dalam tangki, peserta menyaksikan bagaimana memperlakukan yeast setelah kemasan dibuka. Pertama-tama adalah dengan melakukan rehidrasi terhadap masing-masing yeast. Rehidrasi adalah proses menambahkan air ke yeast untuk mengaktifkan kembali sel-sel yang tidak aktif saat yeast masih kering. Dengan memberikan kelembapan yang diperlukan, yeast dapat memulai proses metabolisme dan fermentasi. Jika yeast tidak terhidrasi dengan baik kemudian tidak menunjukkan tanda-tanda aktivitas, dapat diindikasikan bahwa yeast tersebut sudah terlampau lama atau tidak aktif, yang dapat memengaruhi kinerja fermentasi. Larutan rehidrasi yeast ini juga memberikan lingkungan yang protektif bagi sel yeast. Ini membantu melindungi mereka dari guncangan osmotik, yang sering terjadi jika yeast langsung ditambahkan ke lingkungan.

Dua tangki besar berisi gabah basah masing-masing seberat 300kg telah disiapkan. Lucia melarutkan sekitar 300gr yeast Cima dan Intenso masing-masing ke dalam 3L air dengan suhu sedikit hangat, kemudian menurunkan suhu larutan tersebut dengan menambahkan beberapa kepal gabah basah yang akan diproses. Hal ini dilakukan agar larutan dapat mencapai perbedaan suhu kurang dari 10ºC dari suhu rendaman gabah di tangki.

20 menit kemudian, terlihat larutan rehidrasi yeast mengembang dan mengeluarkan banyak gelembung sebagai tanda yeast sudah aktif. Larutan ini pun siap diinokulasi ke dalam tangki. Inokulasi adalah proses memasukkan yeast yang telah direhidrasi ke dalam lingkungan, yaitu tangki berisi rendaman gabah basah.

Di sini peserta melihat perbedaan aktivitas yeast Cima dan Intenso sejak tahap rehidrasi. Larutan Cima tidak begitu agresif dibandingkan Intenso, terlihat dari larutan Intenso yang menggelembung lebih banyak dibandingkan Cima, dengan aroma yang juga lebih tajam. Sebaliknya, Cima memiliki aroma yang lebih kalem dengan aktivitas yang lebih stabil.

Larutan yeast Intenso yang sangat aktif 20 menit setelah rehidrasi

Peserta sedang menginokukasi yeast Intenso ke dalam tangki berisi rendaman gabah basah.

Kedua yeast process ini berlangsung selama 1 hari 20 jam. Selama fermentasi, dilakukan pengecekan untuk mencatat tren pergerakan brix dan pH. Selain itu, dilakukan pengadukan untuk meratakan distribusi yeast, melepaskan CO2, dan memaparkan sedikit oksigen.

Peserta mengaduk air fermentasi untuk meratakan distribusi yeast.

Berikut tren pergerakan brix dan pH yeast process menggunakan Cima dan Intenso.

Aktivitas metabolisme yeast Intenso lebih agresif di awal daripada yeast Cima. Sebaliknya di akhir, aktivitas yeast Intenso menurun sedangkan Cima meningkat. Naiknya brix mengindikasikan aktivitas yeast sedang memetabolisme dan mengkonversi gula menjadi alkohol dan metabolit lainnya. Turunnya brix mengindikasikan kemungkinan konsumsi gula yang terus menerus terjadi. Kenaikan kembali mengindikasikan kemungkinan adanya aktivitas sekunder di mana strain yeast tertentu menjadi aktif mengkonversi gula tambahan.

Kedua yeast process memulai dari pH 5.1 dan terus menurun hingga pH 4.3 dan 4.2. Aktivitas yeast terus menghasilkan asam dari pelepasan CO2, enzym dan hasil konsumsi gula.

Sekilas jika melihat angka-angka secara terpisah, perubahan brix dan pH tampak tidak banyak, namun ketika disusun menjadi tren, jelas terlihat bahwa aktivitas yeast terus bergerak, tergantung jenis strain yeast dan lingkungannya. Selain mencatat brix dan pH, peserta juga didorong untuk melihat perubahan yang terjadi secara langsung, dari melihat aktivitas gelembung CO2, mencium aroma hingga mencicipi air fermentasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan aroma dan rasa dari hari ke hari dan memastikan bahwa fermentasi yang baik itu tidak mengeluarkan aroma defect. Hasil dari yeast process ini telah dijemur selama 20 hari.

Observasi Cima yeast process

Observasi Cima yeast process

3. Lactic Process

Proses lactic ini bukan dilakukan dengan menambahkan mikroba tetapi dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi Lactobacillus – bakteri asam laktat atau Lactic Acid Bacteria agar menjadi dominan di dalam tangki. Caranya, peserta hanya menggunakan larutan garam. Jenis garam yang digunakan adalah garam NaCl murni, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan garam tanpa iodium lainnya.

Garam berfungsi sebagai penyaring dalam metode pengawetan makanan. Daging yang digarami akan lebih awet dan tidak rusak oleh kontaminasi bakteri. Hal yang sama berlaku untuk sayuran yang dijadikan asinan atau acar. Garam menciptakan lingkungan yang tidak ramah bagi banyak jenis mikroba seperti yeast dan bakteri asetat (Acetic Acid Bacteria), sedangkan bakteri asam laktat tidak terpengaruh oleh garam sehingga dapat leluasa mendominasi fermentasi. Jadi perlu dicatat, bahwa fungsi garam ini tidak untuk meningkatkan bakteri asam laktat, tetapi membuat kondisi lingkungan menjadi kondusif bagi bakteri asam laktat untuk bermetabolisme.

Tujuan lactic process ini adalah menghasilkan konsentrasi kekentalan dan metabolit dari kerja bakteri laktat yang cenderung memberikan keasaman buah-buahan manis pada kopi. Tujuan praktis lainnya adalah pengolah dapat memanfaatkan mikroba yang sudah ada di buah kopi itu sendiri jika tidak menginginkan menggunakan yeast komersial.

Larutan yang sudah diberi garam sebanyak 2kg ditambahkan ke tangki yang berisi rendaman gabah basah seberat 100kg. Tangki kemudian ditutup selembar plastik. Proses ini berlangsung lebih lama dari yeast process meskipun dilakukan di hari yang sama, yaitu 2 hari 16 jam. Pada malam hari, peserta melihat hampir tidak ada aktivitas seperti gelembung. Brix menunjukkan angka yang sama namun pH menurun 0.2 poin. Pada keesokan harinya, tangki pun dipindahkan secara hati-hati ke tempat yang lebih hangat dengan harapan akan lebih banyak muncul aktivitas bakteri. Pada hari selanjutnya, aktivitas bakteri sudah mulai terlihat meskipun sedikit. Angka pH terus menurun namun brix stabil. Karena itu, lactic process ini dibiarkan lebih lama dari proses lainnya. Pada hari ke-empat, dilakukan pencucian dan penjemuran. Hasil dari lactic process ini telah dijemur selama 26 hari.

Angka brix pada lactic process dimulai dari 6.5 bx. Kemudian stabil walaupun ada sedikit penurunan. Konsentrasi garam menambah kekentalan pada rendaman tangki sehingga nilai brix lebih tinggi dari proses lainnya.

Dibandingkan yeast process, angka pH lactic process ini terus mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Dalam diskusi, peserta mempertanyakan mengapa brix terus stabil pada lactic process ini. Menurut Lucia, meskipun demikian, hal ini tidak berarti tidak ada yang berubah, hanya saja nilai yang didapatkan tetap sama. Ketika brix stabil dengan aktivitas yang tinggi, kemungkinan besar gula dikonsumsi dan dilepaskan secara bersamaan. Saat bakteri pertama telah selesai, masih ada yang lain memecah dan melepaskan zat di dalam tangki, sehingga membuat lebih banyak gula tersedia. Hal ini menciptakan siklus konsumsi dan pelepasan yang terus-menerus dalam kecepatan yang sama.

Selain itu, menurut Lucia Solis, keberhasilan lactic process ini memang bergantung pada keberadaan bakteri Lactobacillus yang ada di lingkungan dan suhu sekitar. Lactic process yang dilakukan di Puntang ini memang lebih santai dibandingkan ketika salah satu peserta FTC, Arie Oktara dari Nyala Roastery mencoba proses serupa di Lampung. Karena suhu di Lampung cukup hangat, tren aktivitas bakteri pun jadi lebih aktif.

Suasana kelas diskusi di sela-sela praktek.

“The process makes a product, but simplify the process makes a more consistent product” – Peserta FTC4

Semua proses Lactic dan Yeast (Cima dan Intenso) dilakukan dengan sederhana, termasuk menutup permukaan gabah basah dengan selembar plastik bening seperti yang biasa digunakan sebagai penutup atap rumah penjemuran. Penutup plastik diletakkan langsung di atas permukaan air fermentasi (meminimalisir headspace), bukan di mulut tangki, agar menciptakan lingkungan fermentasi yang rendah oksigen namun masih memungkinkan pelepasan gas hasil fermentasi. Selama observasi fermentasi, terbentuk kantong-kantong udara di bawah plastik, dan pergerakan kantong udara ini menghasilkan pelepasan gas melalui sisi samping plastik (pressure release sederhana dan murah!)

Angka oxymeter yang terhubung dengan tangki fermentasi menunjukkan level oksigen yang sangat rendah. Walaupun hanya dengan penutup plastik bening, kondisi anaerob tetap terjaga selama berada di dalam air fermentasi.

Demikianlah cerita tentang ketiga proses yang dilakukan dalam FTC 4 ini. Semoga kesederhanaan proses-proses ini dapat membangkitkan semangat dalam mengolah kopi. Kami juga senang mendengar sebagian peserta sudah mulai mencoba sendiri proses-proses ini beberapa hari setelah FTC usai. Semoga kami bisa mengumpulkan kemajuan-kemajuan dari para peserta ini dan merangkumnya ke dalam tulisan agar bisa dijadikan pembelajaran bersama.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Klasik Beans Cooperative yang telah memberikan tempat belajar yang menyenangkan, dan juga kepada semua yang membantu dalam memantau proses pengeringan, penyimpanan, dan pengemasan biji kopi hasil FTC 4 ini.

Kadar air gabah kering diukur menggunakan cerra tester berdampingan dengan digital moisture meter.

Gabah kering hasil olahan peserta FTC siap dikupas kering.

Sebagian biji kopi akan kami kembalikan kepada peserta FTC dan sebagian kecil akan kami simpan untuk berbagi cerita di acara public cupping di masa mendatang. Terima kasih juga kepada semua yang telah berpartisipasi dan mendukung kelancaran FTC ini.

Salam Mestakung!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *