Mengurai Rantai Nilai Kopi di Indonesia

Indonesia produsen kopi terbesar ketiga, tapi mengapa petani masih mendapatkan bagian kecil dari rantai nilai? Mari mengurai rantai nilai, paradoksnya, dan model pengelolaannya.

 

 

Acara diskusi Mengurai Rantai Nilai Kopi yang diadakan di Kozi Budaraa, Dago Atas, Bandung di bulan Juni 2024

 

 

Perkembangan kopi di Indonesia semakin pesat. Tahun 2024, produktivitas kopi Indonesia menempati peringkat ketiga dunia setelah Brasil dan Vietnam. Konsumsi kopi domestik pun mencapai 1,5 kg per kapita pada 2024-2025. Di segmen kopi specialty, Indonesia semakin diakui internasional dengan menjuarai kompetisi serta menjadi tuan rumah ajang prestisius Cup of Excellence (COE) selama tiga kali berturut-turut. Namun, di balik kemajuan ini, mengapa petani kopi, sebagai tulang punggung di hulu, masih menerima bagian nilai yang rendah dari rantai industri kopi?

 

Inilah yang disebut sebagai paradoks kopi—sebuah situasi kontradiktif di mana kemajuan industri di hilir tidak sejalan dengan kesejahteraan petani di hulu. Paradoks inilah yang menjadi fokus utama diskusi dan kajian Bandung Coffee Exchange sepanjang tahun 2024. Melalui serangkaian diskusi bersama para pakar, pelaku, dan peneliti kopi—seperti Jeffrey Neilson (Universitas Sydney), Enung Sumartini (Mahkota Java Coffee Garut), Dr. Angga Dwiartama (ITB), Michael Utama (PMO Kopi Nusantara), dan Prof. Xiomara Fernanda Quinones Ruiz (BOKU Vienna)—kami mencoba mengurai mengapa kemajuan industri kopi di hilir tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan petani di hulu.

 

Paradoks Rantai Nilai Kopi Indonesia Paradoks rendahnya nilai yang diterima petani kopi di Indonesia ternyata tidak lepas dari panjangnya rantai nilai, terutama di sektor hulu. Struktur petani yang beragam—mulai dari petani pemilik lahan luas yang seringkali berperan sebagai pengepul, petani garapan yang hanya menerima upah, hingga petani kecil yang mengelola lahan sendiri dengan akses pasar dan modal yang terbatas— menciptakan lapisan-lapisan pelaku dalam rantai pasok. Di luar para petani, masih ada pengepul kecil, pengepul besar, industri yang turut memperpanjang jalur distribusi kopi dari kebun hingga ke pasar. Nilai tambah yang dihasilkan dari setiap tahapan produksi dan distribusi pun lebih banyak terserap oleh para pelaku di tengah dan hilir. Sementara itu, petani kecil umumnya hanya menjual cherry ke pengepul dengan harga yang ditentukan pasar. Pengecualian terjadi di Sumatera, di mana sebagian petani yang tergabung dalam koperasi telah mampu meningkatkan nilai tambah dengan menjual gabah basah berkat kepemilikan alat produksi sederhana. Namun, mayoritas petani masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, apalagi untuk berinvestasi dalam pemeliharaan kebun kopi yang membutuhkan waktu, tenaga, dan modal.

 

(1) Panjangnya rantai nilai inilah yang membuat nilai ekonomi kopi di tingkat petani tetap rendah, meski industri kopi di hilir terus berkembang dan meraih keuntungan besar— seperti yang diungkapkan dalam buku The Coffee Paradox oleh Ponte dan Daviron. “Meskipun permintaan dan konsumsi kopi terus meningkat, kesejahteraan petani kopi tidak selalu mengikuti tren tersebut.

 

(2) Paradoks ini dipertegas juga oleh Edward Fischer dalam Making Better Coffee. Fischer menjelaskan bagaimana nilai material yang awalnya terkait dengan kualitas kopi dari petani bertransformasi menjadi nilai simbolik yang dihargai konsumen di hilir. Cerita origin, tasting notes, jenama pada kemasan, dan atmosfer kedai kopi menjadi elemen-elemen yang dihargai sangat mahal oleh konsumen, sementara nilai yang melekat pada kopi di hulu—yang seharusnya mencerminkan tenaga, waktu dan modal petani—justru sering terabaikan. (3)

 

 

Ambisi Global, Realitas Lokal

 

Jeffrey Neilson dan Michael Utama pada sesi diskusi Mengurai Rantai Nilai Kopi di Kozi Budaraa, Dago Atas, Bandung di bulan Juni 2024

 

Panjang dan kompleksnya rantai nilai kopi di Indonesia ternyata juga terkait dengan posisi kopi Indonesia dalam persaingan di pasar global. Industri kopi Indonesia melibatkan beragam pelaku, mulai dari petani kecil, perkebunan besar, pengepul kecil dan besar di desa, pedagang ekspor-impor, pabrik, hingga perusahaan pemanggang dan perusahaan kopi yang menjual kopi ke luar negeri. Seluruh pelaku ini terhubung dalam sebuah jaringan yang disebut Rantai Nilai Global (Global Value Chain atau GVC), yang menghubungkan produksi kopi dari Indonesia hingga ke konsumen di berbagai negara.

 

Keterlibatan Indonesia dalam rantai nilai kopi global mendorong pemerintah untuk berupaya meningkatkan kualitas dan produktivitas kopi, dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan petani. Berbagai program seperti Green Economy (4) dan Indikasi Geografis diluncurkan dengan tujuan meningkatkan kualitas kopi dan memperluas akses pasar. Namun, efektivitas kebijakan ini dalam meningkatkan kesejahteraan petani masih menjadi pertanyaan. Penelitian Jeffrey Neilson menyoroti bahwa kurangnya kepekaan terhadap realitas petani di lapangan menjadi salah satu faktor program-program tersebut banyak yang tidak tepat sasaran.

 

Dalam diskusi pada Juni 2024, Jeffrey Neilson mengungkapkan realitas yang seringkali terabaikan oleh para pelaku di hilir dan pembuat kebijakan: bagi banyak petani kopi, bertani bukanlah mata pencaharian utama, melainkan sebuah strategi pertahanan yang digambarkan Neilson sebagai fortress farming. Strategi ini dilakukan untuk mempertahankan akses tanah untuk memenuhi kebutuhan pangan, dan memperoleh sedikit pendapatan tambahan dari kopi. Sementara itu, mereka lebih mengandalkan pekerjaan lain seperti buruh bangunan. Akibatnya, produktivitas kopi bukanlah prioritas, apalagi dengan biaya pupuk dan perawatan kebun intensif yang dianggap membebani. Menurut Neilson, “Dalam beberapa kasus, kopi hanyalah tanaman pekarangan, di mana sebuah rumah tangga hanya memelihara beberapa ratus pohon.”

 

Motivasi bertani juga dipengaruhi oleh kondisi geografis yang menantang. Penelitian Neilson selama 10 tahun di Kampung Tolu Buntu menunjukkan lanskap yang terpencar-pencar, dengan banyak penduduk usia produktif yang memilih merantau ke Malaysia daripada mengurus kebun di desanya. Selain itu, faktor budaya juga berperan, di mana petani memelihara ternak untuk keperluan adat, sehingga hasil pertanian tidak selalu diperlakukan sebagai komoditas murni. Surveinya terhadap 30 rumah tangga menunjukkan bahwa meski kopi menjadi sumber pendapatan utama, skala usahanya relatif kecil (rata-rata 100-200 pohon), perawatan minim, dan produktivitas rendah (100-200 kg per hektar). Hasil panen pun umumnya dijual ke tengkulak, yang memasok ke pabrik, sehingga membatasi akses pasar dan nilai tambah yang diterima petani.

 

Ambisi pemerintah untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kopi, meski bertujuan mulia, justru semakin memperlihatkan jurang antara harapan dan kenyataan. Realitas fortress farming dan kesulitan mendasar yang dihadapi petani seharusnya bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemangku kebijakan saat membuat program-program peningkatan produktivitas dan pertambahan nilai.

 

Upaya Statecraft dalam Pengelolaan Rantai Nilai Kopi

 

Wawancara dengan Fernanda (Xiomara F. Quinones-Ruiz) berbagi cerita tentang studinya di colombia dan Thailand, di Halla Coffee, Bandung.

 

Berbagai skema dan program telah dirancang oleh pemerintah sebagai bagian dari upaya statecraft—yaitu, intervensi negara dalam ekonomi—untuk meningkatkan rantai nilai kopi Indonesia. Begitu pula negara-negara lain, seperti Kolombia dan Thailand, yang memiliki pengalaman dan pelajaran berharga dalam mengelola rantai nilai kopinya. Studi kasus berikut akan mengkaji skema-skema tersebut, sebagaimana terungkap dalam pemaparan Jeffrey Neilson, presentasi pihak PMO dalam diskusi Juni 2024, serta wawancara dengan Xiomara, dengan tujuan untuk memperluas pemahaman mengenai berbagai model pengelolaan rantai nilai kopi yang dapat menjadi bahan pembelajaran bersama.

 

Upaya Statecraft di Indonesia

 

Keterlibatan stakeholders dalam rantai nilai kopi di skema PMO. Sumber : PMO Kopi Nusantara Pengembangan Ekosistem Bisnis Kopi Nasional

 

Sebagai negara penghasil kopi ketiga setelah Brazil dan Vietnam, tentunya peran negara sangat penting terutama untuk melindungi keberlanjutan petani kopi sebagai tulang punggung produksi kopi nasional. Berbagai upaya statecraft pun telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas kopi, yang diharapkan dapat berdampak positif pada kesejahteraan petani.

 

Salah satunya adalah program Indikasi Geografis (IG) yang diperkenalkan sejak 2018. Hingga Juli 2024, sebanyak 54 jenis kopi dari berbagai daerah telah terdaftar dengan sertifikat IG, sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing kopi Indonesia di pasar global. (5)

 

Untuk mendukung program IG, pada 2022 diluncurkan program Korporatisasi Petani Kopi Berbasis Koperasi. [6] Program ini bertujuan untuk memastikan hasil panen petani kecil—terutama yang sudah masuk skema IG—dapat terserap secara terpusat melalui korporasi, sehingga memudahkan akses ke pasar internasional. Namun, implementasi program ini tampaknya masih menghadapi berbagai tantangan, meski pembangunan infrastruktur pendukung terus dilakukan seperti gedung Center of Excellence Korporasi Petani Kopi yang dibangun di Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, sebagai kawasan kopi terpadu untuk menyerap kopi berindikasi geografis Java Preanger. (7)

 

Pada 2024, upaya korporatisasi diperluas melalui program PMO Kopi Nusantara di bawah Kementerian BUMN. Program ini melibatkan berbagai stakeholders dalam strategi holistik untuk memperbaiki ekosistem rantai pasok kopi melalui kerja sama B2B, meningkatkan kesejahteraan petani melalui upaya R&D untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas komoditas kopi, sampai mengembangkan platform digital Center of Excellence. Stakeholders tersebut mencakup pihak asuransi untuk memitigasi gagal panen; pelaku kopi swasta sebagai offtaker; asosiasi kopi dan lembaga sertifikasi untuk pendampingan; pusat penelitian kopi dan BUMN untuk mendorong inovasi; penyediaan pupuk dan alsintan dari perusahaan BUMN; penyediaan kredit dari berbagai Bank BUMN; Perkebunan Nusantara sebagai project leader. Saat ini Pilot project yang tengah dilakukan PMO kopi Nusantara meliputi kelompok tani kopi di Bondowoso dan beberapa kelompok tani di Garut.

 

Namun, skema PMO Kopi Nusantara ini juga memunculkan berbagai pertanyaan dari para peserta diskusi. Dalam diskusi pada Juni lalu, beberapa peserta mempertanyakan fokus program yang lebih menekankan peran stakeholders swasta dan BUMN daripada kebutuhan riil petani, serta minimnya ruang bagi petani untuk berbagi kepemilikan dalam rantai nilai. Pertanyaan-pertanyaan ini menggarisbawahi perlunya pemahaman yang lebih mendalam terhadap realitas petani kopi di lapangan—sebagaimana diungkapkan oleh Jeffrey Neilson—agar upaya statecraft yang dilakukan pemerintah dapat benar-benar efektif dan berdampak positif bagi kesejahteraan petani.

 

Upaya Statecraft dan Aksi Kolektif Petani di Kolombia

 

Figure 2: Multi-actor nested organisation for GI-governance.
Ekosistem federasi petani kopi Kolombia yang dibangun dari akar rumput secara mandiri dan intervensi pemerintah melalui kebijakan. Sumber : Xiomara F. Quiñones-Ruiz – Can origin labels re-shape relationships along international supply chains? – The case of Café de Colombia,
International Journal of the Commons (Mar 2015)

 

Kolombia, sebagai negara penghasil kopi terbesar keempat di dunia, dikenal dengan berbagai jenama dan lembaga yang mendukung industri kopi, seperti Juan Valdez, Café de Colombia, Buencafé, Almacafé, Cenicafé. Siapa sangka ternyata lini bisnis kopi dari hulu ke hilir ini dibangun dari aksi kolektif petani yang tergabung dalam Federación Nacional de Cafeteros de Colombia (FNC) sejak 1927. Berbagai jenama ini berhasil menembus pasar internasional yang tak lepas dari dukungan pemerintah terhadap FNC. Hubungan erat antara statecraft dan institusi kolektif petani ini menghasilkan struktur rantai nilai yang kuat mewakili kepentingan 340.000 petani kopi. [8]

 

Berbeda dengan Indonesia, di mana pengelolaan rantai nilai kopi seringkali diserahkan pada pihak swasta, di Kolombia seluruh rantai nilai—mulai dari pertanian, pengolahan, riset, hingga pemasaran—dikelola oleh petani yang tergabung dalam FNC. Struktur kelembagaan FNC dirancang dengan model koperasi yang terintegrasi, dari tingkat lokal di lingkaran dalam hingga komite nasional di lingkaran terluar (lihat bagan).

 

Pada tingkat lokal, petani memiliki koperasi yang bertugas mengolah kopi sampai pada tahap bernilai tambah (beneficio), serta coffee purchase points yang menjamin harga minimum. Dukungan logistik, riset, dan teknologi diberikan oleh lembaga Almacafe dan Cenicafe yang juga dibangun oleh federasi. Komite petani di berbagai tingkatan bertanggung jawab mengelola program pelatihan, bantuan teknis, dan merancang kebijakan strategis. Sementara itu pemerintah memberi dukungan pendanaan yang terkumpul dalam Dana Kopi Nasional (FoNC) yang dikelola FNC untuk memperbaiki infrastruktur rantai nilai kopi, jalan, rumah sakit dan sekolah di daerah-daerah penghasil kopi.

 

Selain itu, sebagai statecraft, pemerintah Kolombia memainkan peran strategis dalam mengarahkan kebijakan penting lainnya bersama FNC seperti kebijakan perdagangan internasional, stabilitas harga, serta promosi jenama Cafe de Colombia melalui Perlindungan Indikasi Geografis (IG).

 

Fernanda menjelaskan bahwa keberhasilan penerapan IG di Kolombia terletak pada pendekatan bottom-up, di mana FNC dibangun dari akar rumput dan melibatkan petani sebagai stakeholder. Keputusan terkait IG diambil secara demokratis dalam kongres FNC, sehingga petani memiliki pemahaman yang lebih baik tentang IG dan mampu mengelola sertifikasi tersebut sebagai peluang strategis untuk menjaga reputasi kopi Kolombia dan bisnis kopi mereka secara berkelanjutan, seperti yang juga dijelaskan Fernanda dalam penelitiannya, “Dalam kasus Kolombia, staf Federasi, atas nama produsen, memulai proses IG tanpa dukungan langsung dari pemerintah atau aktor rantai nilai lainnya seperti pembeli internasional.” (9)

 

Namun, pengelolaan rantai nilai kopi di Kolombia bukan berarti selalu berjalan mulus. Fluktuasi harga kopi dunia yang tajam kerap memicu ketidakpastian dan tekanan besar bagi kelompok tani dan organisasi FNC. Ketika harga kopi melonjak, petani cenderung menahan penjualan untuk mendapatkan harga lebih tinggi, yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan pengiriman dan kerugian besar bagi eksportir, pedagang, hingga FNC sendiri. (10)

 

Selain tantangan eksternal, dinamika internal dalam organisasi FNC juga tidak bisa diabaikan. Seiring semakin kompleksnya struktur organisasi dan bertambahnya jumlah anggota, gesekan internal antara kelompok petani, pengurus koperasi, dan pemerintah kerap muncul. Kompleksitas ini menuntut FNC untuk terus menjaga transparansi, akuntabilitas, dan representasi kepentingan petani di seluruh tingkatan organisasi (11).

 

Terlepas dari tantangan tersebut, insight yang sangat menarik yang bisa dipelajari dari organisasi petani di Kolombia ini adalah bagaimana kolektivitas dan kemandirian petani menjadi kekuatan yang menentukan peran mereka dalam rantai nilai. Dengan bersatu dalam FNC, petani Kolombia jadi memiliki posisi tawar yang lebih kuat, mampu mengelola rantai nilai secara mandiri, serta berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan strategis.

 

Upaya Statecraft di Doi Tung, Thailand

 

Sumber : The Japan Research Institute, Case Study: Doi Tung Development Project (The Mae Fah Luang Foundation), Thailand, 2016

 

Thailand berhasil mengubah wajah pertanian di kawasan Doi Tung, di provinsi Chiang Rai dekat perbatasan Myanmar dan Thailand. Kawasan yang dulu dikenal sebagai pusat produksi opium terbesar abad 20, kini bertransformasi menjadi penghasil kopi berkat dukungan berbagai pihak.

 

Berbeda dengan Indonesia maupun Kolombia, keunggulan Thailand dalam meningkatkan nilai tambah kopi terletak pada struktur rantai nilai yang terintegrasi secara vertikal. Struktur ini mencakup seluruh aspek mulai dari produksi, pemrosesan, hingga pemasaran kopi, yang dikelola secara terpusat di bawah naungan perusahaan sosial bernama Doi Tung Development Project (DTDP). Perusahaan sosial ini berada di bawah naungan Yayasan Mae Fah Luang (MFLF), didirikan oleh Ibu Ratu Srinagarindra untuk memulihkan tradisi lokal dan meningkatkan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat di daerah terpencil dataran tinggi Thailand, termasuk kawasan Doi Tung sebagai penghasil kopi, kacang macadamia dan hasil bumi yang khas lainnya.

 

Untuk membangun ekosistem kopi yang berkelanjutan, yayasan ini menggandeng perusahaan lokal dan Jepang seperti Crown Property Bureau, Siam Commercial Bank Public Company Limited, Bank of Asia (sekarang United Overseas Bank), dan Mitsui & Company (Thailand) Limited, Ua-Chookiat Company Limited, dan Sumitomo Mitsui Banking Corporation untuk bergabung membentuk induk perusahaan Navuti Company. Melalui Navuti, infrastruktur kawasan kopi dibangun, produk kopi diserap, dan keuntungan dikembalikan ke komunitas.

 

Salah satu upaya peningkatan rantai nilai adalah pengajuan Indikasi Geografis (IG) untuk melindungi keunikan kopi Doi Tung. Dengan IG, kopi Doi Tung diharapkan mendapat pengakuan lebih luas di pasar global dan melindungi identitas serta kualitas produk. Pengajuan IG juga dimanfaatkan untuk mengganti warisan budidaya opium menjadi pertanian kopi dan pangan lainnya, serta mengurangi praktik pertanian berpindah-pindah.

 

Menurut The Japan Research Institute, dari enam etnis minoritas di perbatasan Myanmar dan Thailand, hanya 30% yang memiliki kewarganegaraan Thailand, sisanya tidak memiliki kewarganegaraan sehingga sulit mengakses jaminan sosial. Dengan melibatkan mereka dalam produksi kopi Indikasi Geografis, masyarakat etnis minoritas memiliki akses ke jaminan sosial, pelatihan keterampilan, pekerjaan yang stabil, sehingga menciptakan dampak jangka panjang dalam upaya mengurangi kemiskinan dan marginalisasi di daerah tersebut. (12)

 

Fernanda mencatat peningkatan penduduk yang signifikan yang mencapai hampir 80% pada tahun 2018 di kawasan Doi Tung berkat program ini. Ia juga menyebutkan sekitar 10 hingga 12 ton kopi IG dijual setiap tahun di kedai kopi DTDP, sementara 30 hingga 40 ton lainnya dijual sebagai kopi kemasan melalui berbagai saluran ritel. DTDP berhasil menangkap bagian yang lebih besar dari total nilai tambah di sepanjang rantai, dan produsen menerima harga yang lebih tinggi untuk buah cherry mereka. Meskipun produksi keseluruhan tampaknya masih rendah, DTDP berhasil menangkap bagian yang lebih besar dari total nilai tambah di sepanjang rantai. Sementara produsen menerima harga yang lebih tinggi untuk buah cherry mereka. Baik untuk produksi kopi IG dan non-IG diperlakukan setara. (13)

 

Upaya pemerintah kerajaan sebagai statecraft dalam membangun kelembagaan yang vertikal ini merupakan pendekatan top-down yang berbeda dengan upaya statecraft Kolombia yang bottom-up. Proyek ini pun masih terus berjalan dan produk kopinya telah banyak diminati oleh kalangan specialty.

 

Namun, seperti halnya di Kolombia, tidak ada skema yang sepenuhnya ideal dalam pengelolaan rantai nilai kopi. Di kawasan Doi Tung, penurunan produktivitas kerap terjadi di wilayah-wilayah bukaan baru, terutama karena kurangnya gerakan bottom-up dari akar rumput. Salah satu faktornya adalah ketergantungan pada model pertanian yang terlalu top-down sehingga petani tidak terlalu memiliki inisiatif dalam bertani kopi. Sampai saat artikel ini dibuat, pihak Doi Tung Coffee Project mengungkapkan sedang terus mengupayakan edukasi dan model bisnis bottom-up yang dapat menggerakkan semangat bertani kopi.

 

Di balik tantangan tersebut, ada insight penting yang bisa dipelajari dari model organisasi top-down di Thailand. Model terpusat yang dijalankan oleh DTDP dan Yayasan Mae Fah Luang menunjukkan bahwa intervensi negara dan lembaga sosial yang kuat dapat mempercepat transformasi ekonomi dan sosial di kawasan terpencil di tahap awal.

 

Paradoks Rantai Nilai dan Tantangan di Masa Depan

 

Industri kopi menghadapi tantangan besar di masa depan. Tekanan inflasi yang terus meningkat, kenaikan tarif dagang, serta ketidakpastian harga pada 2025 menjadi faktor-faktor yang mendorong munculnya berbagai gagasan untuk mengintervensi rantai nilai kopi. Beberapa pelaku industri kopi hilir mengusulkan kebijakan plafon harga sebagai solusi. Namun, ide ini sering kali mengabaikan kondisi rantai nilai di hulu yang semakin tertekan. Di sisi lain, telah muncul program seperti Korporatisasi Petani Kopi dan PMO Kopi Nusantara.

 

Di tengah derasnya ide dan program, muncul kekhawatiran: apakah intervensi- intervensi ini justru akan menambah beban bagi para pelaku di tahun-tahun mendatang? Bagaimana memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya menyelesaikan masalah jangka pendek, tetapi juga membawa manfaat yang adil dan berkelanjutan, terutama bagi petani kopi di hulu yang selama ini menjadi tulang punggung industri?

 

Di sinilah pelajaran dari Kolombia dan Thailand menjadi sangat relevan. Menilik model rantai nilai kopi di kedua negara tersebut, ada pelajaran penting yang dapat diambil: kehadiran pemerintah sebagai statecraft tidak cukup hanya sekadar menciptakan program jangka pendek. Lebih dari itu, perlu ada penguatan kelembagaan yang mampu memperpendek rantai nilai dan menambah nilai bagi petani.

 

Upaya meningkatkan nilai tambah demi kesejahteraan petani juga tidak selalu dimulai dari mendorong produktivitas atau kualitas hasil panen kopi. Ada motivasi yang lebih mendalam yang menjadi fondasinya. Di Thailand, upaya ini lahir dari keinginan untuk mengatasi persoalan opium dan meningkatkan kondisi hidup enam etnis minoritas di kawasan perbatasan, tidak hanya dengan kopi tapi diversifikasi pangan khas lainnya. Sementara itu, di Kolombia, dorongan utamanya adalah melindungi petani dari gejolak harga kopi di pasar internasional yang kerap tidak berpihak pada petani.

 

Keberhasilan sebuah program dalam rantai nilai kopi tidak hanya bergantung pada niat atau tujuan baik semata. Kekuatan struktur kelembagaan memainkan peran yang sangat penting. Di Kolombia, Federasi Nasional Petani Kopi (FNC) memberikan contoh bagaimana pendekatan bottom-up memungkinkan petani di hulu menjadi aktor utama yang menentukan nilai dalam rantai produksi. Sebaliknya, di Thailand, pendekatan top-down melalui Doi Tung Development Project (DTDP) menunjukkan bahwa kelembagaan sosial terpusat dapat secara efektif memangkas rantai nilai yang terlalu panjang. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap model statecraft memiliki konsekuensi dan efek samping yang perlu dipertimbangkan secara cermat.

 

Pada akhirnya, pelajaran dari dua negara ini mengingatkan kita bahwa apa pun program atau kebijakan pemerintah di Indonesia, perencanaannya perlu berpijak pada realitas fortress farming di lapangan. Tak segan-segan selalu mengingatkan bahwa bagi sebagian besar petani kita, produktivitas kopi belum tentu menjadi prioritas utama karena berbagai faktor ekonomi dan sosial. Maka, pertanyaan besarnya: seperti apa program dan kebijakan statecraft yang mampu menjadikan profesi petani (kopi dan lainnya) sebagai sumber nilai tambah yang berkelanjutan?

 

Daftar Pustaka

[1] Kompas.id (2018). Kopi dan Rantai Panjang Perdagangan.

[2] Benoit Daviron, Stefano Ponte. (2005). The Coffee Paradox : Global Markets,
Commodity Trade and the Elusive Promise of Development.

[3] Edward Fischer. (2022). Making Better Coffee.

[4] Jeffrey Neilson. (2013). The Value Chain for Indonesian Coffee in A Green
Economy.

[5] Antara News. (2024). 54 Indikasi Geografis jenis kopi telah terdaftar di DJKI
Kemenkumham.

[6] iNews. (2022). Majukan Bisnis Kopi Indonesia, Kemenkop UKM Fokus
Korporatisasi Petani Kopi Berbasis Koperasi.

[7] Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. (2024). COE Korporasi Kopi Solokan
Jeruk.

[8] Micheal L. Norton. (2013). Juan Valdez: Innovation in Caffeination. Harvard
Business School.

[9] Xiomara F. Quiñones-Ruiz. (2015). Can origin labels re-shape relationships
along international supply chains? – The case of Café de Colombia. International
Journal of the Commons.

[10] Times Indonesia (2021). Petani Kolombia Gagal Kirim Kopi.

[11] Antonella Samoggia (2023) Revealing the Governance Dynamics of the
Coffee Chain in Colombia: A State-of-the-Art Review.

[12] The Japan Research Institute. (2016). Case Study: Doi Tung Development
Project (The Mae Fah Luang Foundation), Thailand.

[13] Xiomara F. Quiñones-Ruiz. (2020). Collective Action Milieus and Governance
Structures of Protected Geographical Indications for Coffee in Colombia, Thailand
and Indonesia. International Journal of the Commons.

[14] Jane M. Ferguson (2024). From Cold War to Cold Brew: Crop Replacement
Strategies, Bean Logistics, and Ethnicized Coffee Commerce in Northern Thailand

 

Contributor :

BCE | Ratna Yuriasari

Brand Strategist, Coffee writer in BCE and Drink Deep Substack Page.

Ratna.yuriasari@gmail.com

https://bce.co.id/. Closing Gaps, Driving Changes

Final World Brewers Cup 2025: George Jinyang Peng Juara Dunia, Bayu Prawiro Ukir Sejarah untuk Indonesia

Panggung final World Brewers Cup 2025 di Jakarta International Convention Center mempertemukan sembilan penyeduh terbaik dunia. Dalam dua babak penentuan—Open Service dan Compulsory Service—mereka menyeduh dua kali: satu cangkir dengan kopi pilihan terbaik mereka, satu lagi dengan kopi misterius yang harus diolah tanpa narasi dan tanpa petunjuk.

 

Open Service: Ritual Penyeduhan Penuh Cerita

 

Pada babak pertama, para finalis membawa kopi andalan masing-masing dan menyajikannya dengan performa maksimal. Setiap seduhan memuat kepribadian, filosofi, dan teknik khas mereka.

 

George Jinyang Peng dari Tiongkok tampil presisi dan sistematis. Ia menjelaskan korelasi suhu terhadap flavor dalam kopi—mulai dari pemilihan kopi, pendekatan sangrai, metode seduh, hingga penyajian akhir. Raul Rodas dari Guatemala membawa tema intensitas dan kejernihan, tampil dengan elegan dan penuh kontrol.

 

Bayu Prawiro dari Indonesia tampil tenang dan penuh kendali. Ia menyajikan kombinasi Geisha Panama dan Excelsa dari Sukawangi dalam pendekatan “fotografi dalam seduhan” — mengaplikasikan prinsip fotografi dalam menangkap momen sensorik melalui kopi.

 

Andrea Batacchi dari Italia tampil memukau dengan tema tentang mimpi, mengaitkan pengalaman pribadi tentang mimpinya dengan kopi dan seduhannya. Justin Bull dari Amerika Serikat mengusung konsep hybrid yang diterapkan secara menyeluruh dalam alat, proses, dan narasi. Carlos Escobar dari Kolombia menyentuh sisi emosional dengan tema “former farmer”, membicarakan keberlanjutan dalam industri kopi.

 

Elysia Tan dari Singapura membawakan presentasi yang fresh dengan lego dan pendekatan membangun rumah—mendesain struktur rasa layaknya merancang arsitektur. Alireza dari Turki tampil solid dengan tema tentang waktu; setelah tiga tahun tertunda akibat kendala visa, ia akhirnya tampil di panggung dunia. Lakis Psomas dari Swedia menutup sesi dengan tema transformasi, menampilkan teknik unik reverse bloom yang inovatif.

 

Compulsory Service: Ketika Teknik Berbicara

 

Babak kedua, Compulsory Service, adalah ujian sejati. Semua finalis diberi kopi yang sama dari sponsor resmi: 32/DO Coffee dari Bali, Indonesia. Mereka menyeduh tanpa mengetahui detail proses, varietas, atau asal, dengan grinder dan air standar dari panitia.

 

Sebagian besar memilih Hario Switch untuk pendekatan immersion atau hybrid:

 

  • Alireza menggabungkan Hario Switch dengan Drip Assist dan menggunakan teknik dua kali tuang (double pour immersion).

 

  • Lakis Psomas menggunakan Switch berbahan keramik, menggabungkan perkolasi dan immersion dengan dilution di akhir.

 

  • Carlos Escobar memakai Switch dan Drip Assist, serta melakukan agitasi tambahan melalui pengadukan dengan sendok.

 

  • Andrea Batacchi memakai Switch dengan teknik full immersion, dua termin adukan sendok, lalu menambahkan air di tahap akhir.

 

  • George menggunakan pendekatan unik: air disimpan dalam termos, lalu dituangkan ke kopi dan direndam dalam Switch sebelum dibuka.

 

  • Elysia Tan memilih CT62 Transit, melakukan sizing, regrinding, serta teknik pendinginan dengan Paragon Ball, lalu menambahkan air (dilution).

 

  • Justin Bull menggunakan April Hybrid Brewer tanpa dilution, mengandalkan keseimbangan antara perkolasi awal dan immersion akhir.

 

  • Bayu Prawiro menggunakan Switch dengan teknik full immersion, diaduk 10 kali, lalu diselesaikan dengan dilution.

 

  • Raul Rodas menggabungkan hybrid perkolasi dan immersion menggunakan Switch, tanpa pengenceran air tambahan.

 

Hasil Akhir: George Juara Dunia, Bayu Runner-up Dunia

Setelah dua babak penilaian yang ketat, inilah hasil akhir World Brewers Cup 2025:

 

  • George Jinyang Peng – China
    Open Service: 367.00 | Compulsory: 152.00 | Total: 519.00

 

  • Bayu Prawiro – Indonesia
    Open Service: 362.00 | Compulsory: 148.00 | Total: 510.00

 

  • Carlos Escobar – Colombia
    Open Service: 357.00 | Compulsory: 148.00 | Total: 505.00

 

  • Elysia Tan – Singapore
    Open Service: 377.00 | Compulsory: 118.00 | Total: 495.00

 

  • Andrea Batacchi – Italy
    Open Service: 341.00 | Compulsory: 142.00 | Total: 483.00

 

  • Justin Bull – United States
    Open Service: 334.00 | Compulsory: 130.00 | Total: 464.00

 

  • Lakis Psomas – Sweden
    Open Service: 322.00 | Compulsory: 135.00 | Total: 457.00

 

  • Alireza – Turkey
    Open Service: 325.00 | Compulsory: 122.00 | Total: 447.00

 

  • Raul Rodas – Guatemala
    Open Service: 319.00 | Compulsory: 121.00 | Total: 440.00

 

Penutup: Cangkir Terbaik Lahir dari Ketulusan

 

Final World Brewers Cup di Jakarta menegaskan satu hal: menyeduh kopi bukan sekadar soal alat atau biji eksotis. Ini adalah soal kejujuran terhadap rasa, kemampuan membaca karakter kopi, dan keberanian menyampaikan sesuatu lewat medium yang tak bersuara—namun mampu menyentuh siapa pun, di mana pun.

 

Dan hari ini, dari panggung Jakarta, cerita itu ditutup dengan nama George. Namun dunia juga mencatat nama lain: Bayu, dari Indonesia—yang menyeduh tak hanya untuk mencetak skor, tapi untuk menyampaikan bahwa Indonesia tak hanya negara produsen kopi, tapi juga memiliki penyeduh yang berkualitas.

Hari Kedua World Brewers Cup Jakarta: 20 Penyeduh Terakhir dan 9 Finalis Menuju Panggung Penentuan

Gelombang kedua kompetitor World Brewers Cup 2025 resmi tampil hari ini di Jakarta International Convention Center. Sebanyak 20 penyeduh terakhir menutup babak penyisihan dua hari dengan intensitas yang tak kalah dari hari sebelumnya. Dari benua Amerika hingga Asia Tenggara, setiap peserta membawa bukan hanya kopi terbaik, tetapi juga semangat, eksperimen, dan cerita yang menjembatani tempat asal mereka dengan panggung dunia.

 

Kopi, Identitas, dan Rasa yang Diperjuangkan

 

Geisha kembali menjadi varietas primadona di hari kedua penyisihan—sama seperti hari pertama, lebih dari 70% peserta hari ini memilih Geisha sebagai kopi andalan mereka. Namun, kehadiran peserta seperti Martin Guayasamin dari Ekuador yang menyeduh Typica Mojerado dari Finca Maputo, Thiago Sabino dari Brasil dengan Yellow Catuai dari Casa da Brasa Farm, Raul Rodas dari Guatemala dengan El Injerto, dan Mannuel Pinnola dari Venezuela yang memperkenalkan kopi dari Finca Rosario menunjukkan bahwa World Brewers Cup bukan sekadar soal kopi terbaik, melainkan tentang representasi tanah kelahiran.

 

Dari Indonesia, Bayu Prawiro tampil dengan percaya diri. Ia menyeduh kombinasi Geisha Panama dan Excelsa dari Sukawangi—dengan upaya artistik yang ia sebut sebagai “fotografi dalam seduhan”. Tak hanya menampilkan teknik yang rapi, Bayu juga menyampaikan pesan tersirat tentang bagaimana kopi lokal Indonesia memiliki tempat di panggung global.

 

Elysia Tan, kompetitor dari Singapura, juga menghadirkan kopi Indonesia dalam presentasinya. Ia menggabungkan Geisha dari Panama dengan Liberika dari Temanggung dalam kerangka konsep yang menganalogikan menyeduh kopi sebagai membangun rumah—dari fondasi hingga detail exterior.

 

Sementara itu, peserta seperti Eduard Inocencio dari Qatar, Suki Ma dari Swiss, dan Laura Coe dari Spanyol menyuguhkan pengalaman yang lebih personal dan reflektif, menjadikan kopi sebagai
bahasa untuk menyampaikan gagasan tentang mimpi, takdir, dan cinta.

 

Alat, Teknik, dan Imajinasi

 

Eksplorasi proses pascapanen terus berlanjut. Hybrid CM Washed, Thermal Shock, dan Mossto Natural menjadi pendekatan yang memperluas spektrum rasa hari ini. Peralatan seduh yang digunakan menunjukkan tren kuat pada hybrid dripper, seperti Hario Switch dan April Hybrid Brewer, yang mendominasi panggung.

 

Beberapa peserta bahkan membawa dripper buatan sendiri. Allen Chen dari Taiwan dan Luca Croce dari Inggris, misalnya, tampil dengan alat custom yang memberi dimensi baru dalam kontrol ekstraksi. Dripper pour-over seperti Graycano, Orea, dan Hario Flow juga menjadi pilihan yang banyak digunakan, menandakan pergeseran selera terhadap alat-alat yang lebih moderni.

 

Tidak ketinggalan, inovasi juga hadir dalam drinkware. Two-way cups, fantasy cups, hingga harmony cups menunjukkan bahwa pengalaman minum kopi tak hanya berhenti di lidah—tetapi juga melibatkan sentuhan, visual, dan cerita yang menyertainya.

 

Inilah 9 Finalis World Brewers Cup 2025

 

Setelah seluruh penyeduh tampil, panitia resmi mengumumkan sembilan nama yang akan melaju ke babak final pada 17 Mei 2025:

Alireza – Turki

Lokis Psomas – Swedia

Raul Rodas – Guatemala

George Jinyang Peng – Cina

Carlos Escobar – Kolombia

Andrea Batacchi – Itali

Elysia Tan – Singapura

Bayu Prawiro – Indonesia

Justin Bull – Amerika

 

Penutup: Menuju Hari Penentuan

 

Babak final akan digelar dalam dua format: Open Service dan Compulsory Service. Di satu sisi, para finalis akan kembali menyeduh kopi pilihan mereka. Di sisi lain, mereka akan dihadapkan pada kopi misterius yang belum pernah mereka cicipi sebelumnya—disajikan tanpa nama, tanpa informasi, dan hanya bisa dihadapi dengan insting, pengetahuan, dan kepekaan sensorik.

 

Inilah ujian sejati dari seorang penyeduh manual: menyampaikan sesuatu tanpa kata-kata, dengan medium yang universal namun kompleks—secangkir kopi.

 

Sembilan finalis telah menyeduh dengan keberanian dan dedikasi. Besok, mereka akan menyeduh sekali lagi—bukan sekadar untuk menang, tetapi untuk mengukir sejarah. Dan mungkin saja, sang juara tahun ini datang dari kejutan. Atau barangkali, dari seseorang yang sudah kita kenal sejak hari pertama: Bayu, dari Indonesia.

Hari Pertama World Brewers Cup Jakarta: 30 Seduhan, 30 Perspektif tentang Kopi Dunia

Jakarta International Convention Center berubah menjadi altar sakral kopi dunia pada 15 Mei 2025. Di hari pertama penyisihan World Brewers Cup—bagian dari World of Coffee Asia yang pertama kali digelar di Indonesia—sebanyak 30 penyeduh dari berbagai negara menaiki panggung bukan sekadar untuk menyajikan kopi, melainkan juga untuk menyampaikan cerita, warisan, dan penemuan dari asal negaranya masing-masing.

 

Selama dua hari penyisihan, semua peserta diberi kesempatan menyajikan kopi pilihan mereka dalam format Open Service. Mereka bebas memilih biji, metode, alat, bahkan narasi. Dan dari 30 kompetitor hari pertama, setiap orang tampil dengan filosofi yang tidak kalah kompleks dari kopi itu sendiri.

 

Spektrum Asal dan Proses

 

Geisha tetap menjadi varietas primadona di panggung World Brewers Cup—lebih dari 70% peserta hari pertama memilih Geisha sebagai kopi andalan mereka. Varietas ini datang dari kebun-kebun legendaris seperti Janson, Esmeralda, Totumas, hingga Mikava. Namun menariknya, Geisha juga mulai muncul dari negara-negara non-tradisional, seperti Filipina, yang untuk pertama kalinya memperkenalkan Geisha lokal dalam kompetisi ini.

 

Selain Geisha, beberapa peserta membawa varietas langka lainnya. Carlos Escobar dari Kolombia, misalnya, menyeduh Maracaturra dari negaranya sendiri. Ti Phan dari Vietnam tampil dengan narasi kuat tentang kopi lokal—membawa Liberica Vietnam dan menyandingkannya dengan Sidra dan Geisha, sebagai upaya mendefinisikan ulang citra kopi Vietnam di mata dunia.

 

Jonathan Mendoza dari El Salvador menunjukkan keberanian meracik identitas rasa negaranya lewat tiga kopi berbeda: SL28, Orange Geisha, dan Ethiopia Geisha. Tren membawa lebih dari satu kopi dalam satu presentasi memang kian terlihat—termasuk juga dalam bentuk blend, yang digunakan oleh sekitar 40% peserta hari pertama. Mereka memadukan kopi dari kebun atau bahkan negara berbeda untuk menciptakan struktur rasa yang lebih kompleks.

 

Ragam proses pascapanen pun mencerminkan spektrum pendekatan—dari klasik seperti washed dan natural, hingga eksperimental seperti cold fermentation, hydro honey, dan co-ferment. Tom Hutchins dari Australia, misalnya, menyajikan Sudan Rume dari Kolombia yang melalui proses co-ferment bersama Enigma Hops yang spesial diambil dari negara asalnya sebelum akhirnya diinokulasikan. Inovasi-inovasi ini tidak hanya memperkaya profil rasa, tetapi juga membuka diskusi baru tentang kontrol mikroba, stabilitas fermentasi, dan peran sains dalam eksplorasi cita rasa kopi.

 

Yang tak kalah mengesankan adalah semangat beberapa peserta yang secara sadar memilih membawa kopi dari negara asal mereka sendiri—sebuah pernyataan kebanggaan dan upaya memperkenalkan terroir lokal ke panggung dunia. Kolombia, El Salvador, Bolivia, Panama, Vietnam, dan Filipina menjadi contoh negara-negara yang diwakili tak hanya oleh individu, tetapi juga oleh biji kopi tanah mereka sendiri. Di balik setiap cangkir, ada semangat kolektif untuk membawa pulang perhatian dunia pada asal mula rasa.

 

Ketika Sains Bertemu Imajinasi: Alat, Gagasan, dan Seni Seduh di Panggung Dunia

 

Salah satu daya tarik utama dari World Brewers Cup adalah pertemuan antara presisi ilmiah dan ekspresi artistik. Setiap penyeduh bukan hanya bertarung dengan teknik dan waktu, tetapi juga memperlakukan setiap cangkir sebagai medium cerita dan kreativitas. Lokis Psomas dari Swedia, misalnya, memperkenalkan pendekatan “Reverse Bloom”—membalik urutan blooming untuk membangun struktur rasa baru. Di sisi lain, Sungduk Kim dari Korea Selatan menjadikan proses menyeduh sebagai metafora tumbuh kembang anak, menyandingkan kopi dengan gagasan tentang lingkungan sehat dan masa depan yang berkelanjutan.

 

Tak sedikit kompetitor yang menyilangkan kopi dengan disiplin lain: Eric So dari Hong Kong memadukan kopi dan musik dalam narasi “harmony,” George dari China mengeksplorasi relasi antara suhu dan rasa, sementara Liza Skrypnyk dari Ukraina bereksperimen dengan pemanas V60 berbahan tembaga untuk mengatur dinamika rasa. Beberapa bahkan menciptakan alat mereka sendiri: Binocular dripper dari Mariam Erin dari UAE yang menggunakan teknik wet blending, serta Ti Phan dari Vietnam juga memodifikasi Vietnam drip menjadi dripper baru yang mengakomodasi karakter kopi kontemporer. Tak kalah menarik Daiki Hatakeyama dari Jepang yang menampilkan penyeduhan dengan cloth filter tradisional namun tetap berbasis kopi spesialti.

 

Eksplorasi alat seduh pun sangat luas. Nama-nama seperti Hario, Origami, dan Orea masih mendominasi, tapi turut hadir produsen dripper baru seperti Graycano, UFO, dan berbagai dripper custom-made yang hanya dikenal di lingkaran komunitas terbatas. Melodrip dan Sibarist tampaknya telah menjadi protokol baru dalam mengatur aliran air dan tekstur seduhan, sementara Server Cyclone dari Icosa menjadi server pilihan terbanyak hari ini. Untuk urusan drinkware, para kompetitor menunjukkan keberanian yang sama—dari sensory cup buatan Origami, two-way cups, hingga fantasy cups dan gelas-gelas rancangan khusus untuk mendukung narasi rasa mereka.

 

Menanti Sisa Kompetitor dan Babak Final

 

Masih ada 20 peserta lagi yang akan tampil di hari kedua penyisihan. Mereka akan menghadirkan kisah baru—barangkali lebih subtil, lebih liar, atau lebih tenang—tapi tetap dengan tujuan yang sama: menyeduh kopi yang mampu menyentuh nalar dan rasa secara bersamaan.

 

Final akan digelar pada 17 Mei dengan tambahan Compulsory Service, babak di mana semua peserta mendapat kopi yang sama tanpa tahu identitasnya, lalu harus menyeduh dan menyajikannya secara adil. Di situlah teknis akan diuji murni, tanpa narasi dan biji unggulan.

 

Catatan Penutup

 

Hari pertama World Brewers Cup 2025 di Jakarta bukan sekadar kompetisi. Ia adalah arsip hidup dari perkembangan budaya seduh global, tempat di mana setiap cangkir mengandung makna, dan setiap tetes menyampaikan sesuatu—tentang asal, keahlian, dan keberanian membayangkan ulang masa depan kopi.

Menuju Era CVA: Standar Baru Penilaian Kopi

Coffee Value Assessment (CVA), sistem penilaian kopi yang dikembangkan selama empat tahun oleh SCA, mengeluarkan versi terbarunya pada Juni 2024 (1). Versi ini diupayakan untuk digunakan lebih luas hingga menemui versi finalnya di tahun 2025.

 

Pelatihan CVA for Cuppers oleh AST Pamela Chng, diselenggarakan di 5758 Coffee Lab, Bandung, pada 22 November 2023.

 

Coffee Value Assessment (CVA) adalah sistem penilaian kopi terbaru yang dirancang oleh Specialty Coffee Association (SCA) untuk menjawab kebutuhan industri yang terus berkembang. Setelah melalui proses pengembangan selama empat tahun, CVA meluncurkan protokol cupping dan berbagai formulir penilaian versi terbaru pada Juni 2024.

 

Meskipun telah diperkenalkan dalam versi Alpha dan Beta, adopsi sistem CVA di kalangan pelaku kopi masih menunjukkan perkembangan bertahap. Sebagian pelaku industri, mulai dari produsen hingga barista, masih dalam tahap mengeksplorasi manfaat dan urgensi CVA. Ada yang telah mengintegrasikannya dalam kegiatan sehari-hari dan kompetisi, sementara yang lain masih melihatnya sebagai formulir opsional. Selain itu, sebagian pelaku industri masih merasa lebih nyaman dengan protokol penilaian lama yang telah menjadi standar selama lebih dari dua dekade.

 

Protokol Coffee Value Assessment (CVA) saat ini tengah memasuki tahap akhir pengembangan. Versi 2024 yang telah dirilis mencakup bagian-bagian yang bersifat provisional, yang berarti sudah dapat digunakan secara terbatas namun masih terbuka untuk perubahan berdasarkan hasil riset, pengujian, dan umpan balik dari pelaku industri kopi. Selain itu, beberapa bagian masih dalam versi beta. Menurut Kim Elena Ionescu, Board of Director yang berperan dalam konseptualisasi dan penulisan protokol CVA, proses riset, pengujian, dan pengumpulan umpan balik terus berlanjut, dengan target merilis versi final, terutama untuk penilaian ekstrinsik, pada tahun 2025.

 

Kim Ionescu (SCA) memaparkan peran kalibrasi di CVA, yang menjadi topik diskusi dengan pelaku kopi di puntang, Jawa Barat, saat kunjungan SCA Board, Desember 2024.

 

SCA tampaknya berupaya mendorong adopsi CVA secara lebih luas melalui serangkaian inisiatif, termasuk pelatihan, lokakarya, dan juga telah mulai digunakan dalam berbagai ajang kejuaraan resmi, seperti Barista Championship, Brewers Cup, dan Roasting Championship. Penggunaan CVA di kompetisi- kompetisi ini menunjukkan adanya pengakuan formal terhadap sistem penilaian baru tersebut. Belum lama ini pula, SCA mengumumkan bahwa mulai tahun ini program Q Grader akan sepenuhnya berbasis pada CVA, dan CQI tidak lagi terlibat dalam operasional Q Grader Program, menjadi momen yang cukup mengejutkan bagi banyak pihak dan menentukan keberadaan CVA secara signifikan. Keputusan ini secara resmi menandai bahwa CVA kini benar-benar ditetapkan sebagai instrumen utama dalam uji cita rasa kopi bagi para Q Grader.

 

Mengingat semakin formalnya penggunaan CVA, pemahaman yang mendalam tentang sistem ini menjadi semakin penting bagi seluruh pelaku industri kopi. Selain itu, karena topik ini pun sedang hangat-hangatnya diperbincangkan, terutama sejak pengumuman SCA tentang CVA di program Q Grader, BCE berupaya untuk mengumpulkan data secara menyeluruh—mulai dari mengikuti kelas perkenalan CVA yang diadakan di 5758 Coffee Lab bersama Pamela Chng, berkorespondensi dengan SCA Board saat kunjungan mereka di Puntang, Jawa Barat, hingga terus memantau perkembangan terbaru.

 

Melalui seri artikel ini, kami ingin membagikan hasil pengamatan tersebut secara objektif. Artikel-artikel ini akan mengeksplorasi sejarah perkembangan cupping protocol, alasan SCA menciptakan CVA, perubahan signifikan dalam protokol, tantangan dalam proses penilaian kopi, serta relevansi CVA bagi penciptaan nilai kopi di masa depan.

 

Sumber Pustaka:

1. Specialty Coffee Association. A System to Assess Coffee Value:

Understanding the SCA’s Coffee Value Assessment (June 2024). Contributor :

BCE | Ratna Yuriasari

Brand Strategist, Coffee writer in BCE and Drink Deep Substack Page.

Ratna.yuriasari@gmail.com

 

 

Menuju Era CVA : Mengapa Protokol Lama Tidak Lagi Cukup?

Empat tahun lalu, SCA memulai riset dan pengembangan protokol penilaian kopi baru untuk mengantisipasi kebutuhan industri kopi yang terus berkembang. Hasil evaluasi SCA terhadap protokol cupping SCA 2004 menunjukkan bahwa meskipun telah digunakan selama puluhan tahun, protokol lama ini semakin dirasa tidak relevan dengan dinamika inovasi dalam produksi dan konsumsi kopi saat ini. Didorong oleh perubahan paradigma dalam industri kopi, SCA memperkenalkan Coffee Value Assessment (CVA). Sistem ini disebut sebagai sistem penilaian kopi yang high definition, karena dirancang untuk mengevaluasi kopi dari berbagai aspek, baik intrinsik maupun ekstrinsik. Penilaian intrinsik melibatkan tiga perangkat formulir physical, sensory descriptive, dan affective, sementara penilaian ekstrinsik hanya satu formulir.

 

Sistem dalam Coffee Value Assessment memuat empat perangkat penilaian kopi untuk menemukan nilai pada kopi. Sumber : SCA

 

Perubahan dalam protokol penilaian kopi bukanlah hal yang terjadi sekali saja, melainkan bagian dari evolusi panjang dalam sejarah perdagangan kopi. Pada abad ke-19, kualitas kopi awalnya dinilai berdasarkan atribut fisik seperti ukuran biji, warna, dan keseragaman. Standar ini muncul untuk memenuhi kebutuhan perdagangan di masa itu, di mana biji kopi yang tidak sesuai standar sering dianggap inferior. Namun, perkembangan terus berlanjut ke penilaian cita rasa,yang diperkenalkan oleh Clarence E. Bickford (2). Penilaian cita rasa ini membuka peluang bagi biji kopi berukuran kecil untuk turut diperhitungkan karena ternyata memiliki cita rasa unggul.

 

Selanjutnya pengujian cita rasa ini dikembangkan untuk mengakomodasi berbagai origin spesialti yang dilengkapi dengan handbook, protokol, flavor wheel, dan formulir cupping yang dirilis dari 1997 hingga 2016. Namun protokol dan perangkat penilaian kopi ini secara tidak sengaja mendorong pelaku lebih fokus pada skor numerik tunggal untuk mengartikulasi kualitas. Protokol cupping SCA 2004 juga sebenarnya masih mendasarkan penilaian pada konsep kemurnian seperti proses washed dan karakteristik terroir dari ketinggian tanam, sehingga metode pengolahan berbeda atau yang berasal dari ketinggian rendah seringkali kurang mendapatkan penilaian lebih baik (3).

 

Bagan ringkasan dari berbagai sumber.

 

Seiring berkembangnya industri, cara pandang terhadap produksi dan konsumsi kopi terus berubah. Dalam hal produksi, kopi kini semakin dihargai karena keunikan profil rasanya yang dihasilkan dari berbagai inovasi pengolahan, mirip dengan bagaimana bir dan wine mengistimewakan proses produksinya.

 

Sementara itu, dari sisi konsumsi, kopi telah menjadi minuman yang menawarkan pengalaman beragam. Hal ini didorong oleh pertumbuhan pasar kopi specialty yang semakin beragam, mencakup penikmat kopi klasik, pelanggan gerai kopi premium dengan tambahan rasa, hingga penggemar kopi “third wave” yang selalu mencari pengalaman unik dari berbagai metode pengolahan. Perubahan paradigma ini mendorong SCA mengkaji ulang relevansi protokol lama yang telah lebih dari dua dekade tidak mengalami pembaruan, termasuk memperbarui definisi Specialty Coffee.

 

Kopi specialty adalah kopi atau pengalaman minum kopi yang diakui karena atributnya yang khas, dan karena atribut tersebut, memiliki nilai tambah yang signifikan di pasar.

 

Definisi baru ini dibuat karena sebelumnya terdapat banyak interpretasi terkait definisi kopi specialty. Ada yang mendefinisikan kopi specialty sebagai kopi dengan 0 cacat kategori 1 dan maksimal lima cacat kategori 2, sementara lainnya mengaitkannya dengan skor di atas 80 poin, ada juga yang menyebutkan kopi yang diolah dengan proses yang unik, atau kopi yang masuk kategori “fancy”. Interpretasi-interpretasi ini muncul karena definisi specialty coffee yang lama hanya mengacu pada “biji kopi berkualitas tinggi”, sementara kata “kualitas” di sini bermakna luas dan tidak memiliki ukuran yang jelas (3).

 

Untuk mengatasi hal ini, SCA mengembangkan pendekatan baru yang dapat lebih terukur, yaitu memanfaatkan elemen atribut yang khas (distinctive) pada kopi untuk mengevaluasi kualitas kopi. Atribut-atribut ini mencakup elemen intrinsik seperti bentuk fisik, ukuran, skor, dan deskripsi profil rasa, serta elemen ekstrinsik seperti asal perkebunan, pengolahan, sertifikasi, kelengkapan persyaratan dagang, penjenamaan, dan atribut-atribut lainnya tentang kopi tersebut.

 

Evolusi ini menunjukkan bagaimana standar dan protokol penilaian kopi pada akhirnya perlu terus beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Protokol lama mungkin sudah terbukti efektif di masa lalu, namun berkembangnya inovasi pengolahan dan preferensi konsumen di pasar kopi global perlu direspon dengan sistem yang menurut Cyntia Ludviksen, COO SCA, dapat mendistribusikan ekuitas nilai yang lebih merata di semua rantai nilai, di mana setiap pelaku dan konsumen bisa sama-sama menemukan dan menciptakan “value” dari beragam kopi.

 

Sumber Pustaka

1. Specialty Coffee Association. A System to Assess Coffee Value:
Understanding the SCA’s Coffee Value Assessment (June 2024).

2. Schoenholt, Donald N. “The Man Who Discovered Central America.” The Free Library, 1 November 1993. https://www.thefreelibrary.com/The man who discovered Central America.-a014608186.

3. Specialty Coffee Association. Towards a Definition of Specialty Coffee: Building an Understanding Based on Attributes, An SCA White Paper, 2021.

 

Narasumber :

1. Kim Elene Ionescu, Board of SCA, Chief Sustainability & Knowledge Development Officer Specialty Coffee Association

2. Cyntia Ludviksen, COO Specialty Coffee Association Contributor :

BCE | Ratna Yuriasari

Brand Strategist, Coffee writer in BCE and Drink Deep Substack Page.

Ratna.yuriasari@gmail.com

 

 

Menuju Era CVA: Apa yang Berubah, Apa yang Bertahan

Di atas meja cupping, kualitas kopi biasanya dinilai oleh para cupper yang telah terlatih menggunakan formulir tunggal, di mana semua atribut sensori dicatat dan dikalkulasikan menjadi skor tunggal. Protokol dan formulir cupping SCA 2004 telah mendorong para produsen untuk meningkatkan kualitas kopi sekaligus mengubah persepsi konsumsi kopi menjadi lebih premium. Kini, konsumsi kopi specialty memiliki konsumen yang semakin beragam, membawa preferensi yang kompleks dan berbeda-beda. Penilaian kopi tampaknya tidak lagi terpusat pada satu indikator utama.

 

Sejak protokol dan formulir cupping baru CVA diperkenalkan, para cupper kini tidak hanya disibukkan dengan dua lembar perangkat cupping; descriptive dan affective, tetapi juga dihadapkan pada perubahan pola pikir dalam cara menilai kopi.

 

Cupping Bersifat Objektif, Subjektif, Intersubjektif?

 

Pamela Chng memaparkan studi SCA tentang “intersubjektivitas” dalam cupping, yang menunjukkan adanya variasi penilaian antar-cupper, pada Pelatihan CVA for Cuppers.

 

 

Banyak pelaku kopi menganggap cupping sebagai metode evaluasi kopi yang objektif, terutama karena prosesnya dilakukan oleh cupper terlatih (well-trained) atau menggunakan perangkat yang dirancang oleh asosiasi terkemuka seperti SCA. Namun, anggapan ini perlu ditinjau lebih kritis. Menurut studi persepsi yang dilakukan SCA di 2020-2021 (1:12), apa yang sering dianggap sebagai “objektif” dalam cupping sebenarnya adalah hasil persepsi kolektif yang muncul dari kesepakatan mayoritas di antara para cupper, bukan dari realitas objektif secara ilmiah.

 

Riset yang dilakukan bersama World Coffee Research dan Coffee Science Foundation dilakukan untuk menguji tingkat objektivitas dan subjektivitas formulir cupping 2004. Melibatkan 1.500 cupper dari berbagai rantai nilai, sekitar separuh responden menganggap formulir ini sebagian besar subjektif, sementara separuh lainnya menilainya lebih objektif. Responden juga merujuk pada konsep “intersubjektivitas,” yakni kemampuan cupper untuk mencerminkan preferensi kelompok atau pasar tertentu. Ini menunjukkan bahwa hasil cupping adalah gabungan antara subjektivitas individu dan kesepakatan kolektif (intersubjektivitas), bukan murni objektivitas. (1:12).

 

Karena itu, CVA memperkenalkan dua formulir cupping: sensory descriptive dan affective. Kedua formulir ini memiliki fungsi yang berbeda. Pada formulir deskriptif, fokusnya adalah mendokumentasikan atribut-atribut kopi secara objektif berdasarkan panduan referensi yang tercantum di kolom Check All That Apply (CATA), yang diadaptasi dari SCA Flavor Wheel 2016. Sebaliknya, formulir affective lebih berhubungan dengan interpretasi subjektif, menilai kopi berdasarkan preferensi pasar tertentu atau selera individu.

 

Formulir Descriptive untuk mendokumentasikan atribut-atribut dalam kopi, dianggap sebagai penilaian objektif.

Pada formulir cupping 2004, penilaian subjektif dan objektif disatukan. Sumber : SCA

 

Wienda dari Skynine Coffee, menggambarkan pendekatan ini dengan sangat jelas setelah mengikuti pelatihan CVA bulan November 2023:

 

“Di formulir descriptive, saya membayangkan diri saya sebagai alat ukur yang objektif untuk mendata berbagai atribut di kopi dan mencatatkannya secara deskriptif, sementara di formulir affective, saya membayangkan diri saya sebagai alat ukur untuk menilai tingkat preferensi market yang saya targetkan.”

 

Para roaster dalam pelatihan CVA pun cenderung memberikan respon positif. Mereka akan menggunakan formulir descriptive dan affective untuk kebutuhan profil dan preferensi konsumen, seperti Hideo, roaster dari Curious People yang merasa formulir descriptive akan memudahkannya “merekam perubahan profil beans yang datang ke roastery.” Sementara menurutnya peran formulir affective “membukakan kesempatan roaster dan konsumen untuk menemukan kekurangan dan kelebihan profil tersebut”.

 

Pendekatan dual-formulir ini memungkinkan cupper untuk menjalankan dua peran sekaligus: sebagai pengamat objektif dalam analisis deskriptif dan sebagai interpretator preferensi dalam formulir afektif. Dengan pendekatan ini, proses cupping diharapkan dapat memenuhi kebutuhan beragam pemangku kepentingan di industri kopi.

 

CVA for Cuppers Course November 2023 di 5758 Coffee Lab, Bandung

 

Selain mengakomodasi berbagai peran objektif dan subjektif cupper di sepanjang rantai nilai, menurut Pamela Chng, pengajar sekaligus Presiden SCA, CVA dirancang untuk mengatasi keterbatasan protokol lama yang sebelumnya membutuhkan dua versi formulir berbeda untuk arabika dan robusta. CVA menurutnya adalah “satu sistem yang dapat digunakan oleh semua pemain kopi untuk menilai jenis varietas kopi apa pun, baik arabika maupun robusta, apapun proses pengolahannya.”

 

Mengganti Kalibrasi Menjadi Penyelarasan

 

Selama ini, banyak cupper yang beranggapan bahwa untuk mencapai penilaian yang konsisten dan dapat diterima secara objektif, mereka perlu melakukan “kalibrasi”, yaitu menyesuaikan penilaian dengan standar yang disepakati dalam kelompok atau pasar kopi spesialti, meskipun setiap cupper mungkin memiliki preferensi pribadi terhadap rasa kopi.

 

Namun, dalam konteks ilmu sensorik, kalibrasi memiliki makna yang berbeda. Kalibrasi biasanya dilakukan oleh panelis sensoris terlatih dalam lingkungan yang sangat terkendali, seperti di laboratorium, menggunakan standar atau panduan sensorik yang sangat spesifik sebagai referensi. Sementara itu, praktik yang dilakukan oleh para cupper dalam menyesuaikan penilaian mereka satu sama lain lebih tepat disebut sebagai “penyelarasan” (alignment). Penyelarasan ini lebih berfokus pada memastikan bahwa cupper lain merasakan atribut yang sama atau berbeda dalam kopi yang dinilai.

 

Saat pertemuan SCA di Puntang, Kim Eleba Ionescu menyarankan agar praktik penyelarasan hanya dilakukan pada formulir descriptive, di mana para cupper dapat memastikan bahwa penilaian atribut kopi yang dilakukan oleh masing- masing cupper dapat saling berkesesuaian. Sementara itu, penyelarasan tidak diperlukan dalam formulir affective karena penilaian skor adalah preferensi individu (1 : 53).

 

Yang Bertahan, Berubah dan Hilang : Body, Sweetness, Balance, Overall, Uniformity & Clean Cup Body X Mouthfeel Ada beberapa perbedaan signifikan dari protokol lama dengan pertimbangan yang cukup masuk akal, dimulai dari penggantian istilah “Body” dengan “Mouthfeel”. Dalam protokol CVA, konsep body, yang sebelumnya mencakup berat minuman di mulut dan teksturnya, diperluas menjadi mouthfeel. Perubahan ini tidak hanya menambahkan elemen tactile seperti “rough”, “oily”, “smooth”, “mouth-drying”, dan “metallic”, tetapi juga bertujuan untuk menjembatani perbedaan budaya dalam memahami sensasi berat dan tekstur minuman (3: ). Budaya Barat mungkin lebih terbiasa dengan deskripsi sensasi halus dalam minuman karena rutin mengkonsumsi minuman seperti anggur atau teh herbal. Sebaliknya, budaya Timur yang sering berinteraksi dengan minuman bertekstur kaya, seperti sup kental atau minuman berbasis susu, mungkin memiliki pendekatan berbeda terhadap atribut body. Dengan istilah mouthfeel, CVA seolah memberikan ruang bagi para cupper untuk mendeskripsikan atribut sensorik kopi dengan lebih kaya dan relevan, terlepas dari pengaruh latar belakang budaya.

 

Sweetness Atribut “Sweetness” yang sebelumnya dinilai secara diskriminatif dengan total 10 poin dari lima cup, kini dinilai berdasarkan intensitas. Walaupun sweetness bisa dipengaruhi dari aroma, dalam protokol CVA 2024 jelas ditetapkan bahwa penilaian sweetness adalah persepsi rasa manis pada mulut atau retronasal yang dipicu oleh minuman.

 

Balance X Overall Bagian “Balance” telah dihilangkan dari formulir cupping baru dan digabungkan ke dalam kategori “Overall”, yang kini hanya menjadi bagian dari formulir affective. Perubahan ini dilakukan karena balance dianggap bersifat subjektif, sehingga lebih sesuai jika dinilai dalam konteks overall atau keseluruhan kesan cupper. Pada formulir cupping sebelumnya, kategori “balance” sering menimbulkan berbagai interpretasi. Sebagian cupper menganggap kopi yang balance adalah kopi tanpa karakter dominan—tidak terlalu asam, terlalu fermentasi, atau kekurangan body. Namun, definisi ini sering kali membingungkan karena parameter seperti “terlalu asam” sulit diukur secara objektif. Ada pula pandangan bahwa balance merujuk pada harmoni rasa yang tetap bisa dinikmati tanpa ada elemen yang terlalu menonjol. Interpretasi ini pada akhirnya tumpang tindih dengan kategori overall, yang secara umum mencerminkan tingkat kepuasan cupper terhadap kopi tersebut. Oleh karena itu, memasukkan balance ke dalam overall oleh SCA dianggap langkah yang logis untuk menyederhanakan proses evaluasi.

 

Uniformity “Uniformity” kini dialihkan ke formulir affective dengan format yang tetap, yaitu penilaian diskriminatif menggunakan skala 10 poin dari lima cangkir. Namun istilah uniformity diganti menjadi “Non-Uniform” untuk lebih menyoroti jumlah cangkir yang tidak seragam. Peran non-uniform ini sebagai indikator awal adanya potensi defect (cacat) dan tetap dikurangi 2 poin per satu cangkir yang tidak seragam.

 

Clean Cup Istilah “Clean Cup” benar-benar dihilangkan dalam formulir baru. Clean Cup seharusnya digunakan untuk menilai adanya potensi kontaminasi pada minuman yang bisa berasal dari cacat atau defect pada kopi. Namun, karena istilah “Clean Cup” ini bisa memiliki berbagai interpretasi mengenai “cleanliness”, yang sering kali bias terhadap kualitas rasa, maka istilah tersebut digantikan dengan “Defective Cups”. Untuk mempermudah dan memperjelas penilaian, kini digunakan kolom Check All That Apply (CATA), yang mencakup berbagai jenis kontaminasi atau cacat sehingga penilaian akan menjadi lebih akurat. Prinsip pengurangan poin antara formulir cupping sebelumnya dan yang sekarang sebenarnya tetap sama. Sebelumnya, defect terbagi menjadi dua kategori: taint (dikurangi 2 poin) dan fault (dikurangi 4 poin). Namun, dalam formulir affective CVA, kategori ini disederhanakan. Kini, hanya ada dua kategori utama: “Clean Cup” dengan pengurangan 2 poin per cangkir, dan “Defective Cups” dengan pengurangan 4 poin per cangkir.

 

Skala Skor Lebar & Kaburnya Konsep Threshold Perubahan yang mungkin membuat cupper paling enggan mengadopsi CVA adalah kaburnya batasan atau threshold antara kopi spesialti dan non-spesialti. Sebelumnya, cupper terbiasa dengan parameter penilaian skor 80 poin ke atas sebagai penanda kopi spesialti. Pada formulir cupping 2004, skala penilaian memiliki rentang antara 6 hingga 9,75 sehingga batasan paling rendah (jika tanpa cacat) mencapai skor 72, sementara skor tertinggi 98,25.

 

Berbeda dengan CVA, formulir cupping baru ini memiliki rentang skor lebih lebar. Kopi yang sebelumnya mendapat skor rendah pada formulir cupping 2004 bisa memperoleh skor yang lebih rendah lagi pada formulir affective CVA (dengan skor terendah 58 tanpa cacat). Sebaliknya, kopi yang sebelumnya memiliki skor tinggi bisa memperoleh nilai yang lebih tinggi lagi (paling tinggi 100). Bahkan, pada pelatihan CVA bulan November 2023, ada kopi yang dianggap biasa-biasa saja bisa mencapai skor 90+. Ini karena skala penilaian di formulir affective CVA menggunakan rentang 9 poin untuk setiap bagian, dari “extremely low” hingga “extremely high”.

 

Para peserta pelatihan CVA pada November 2023 juga merasa kebingungan dengan variasi jarak skor dari cupper satu ke lainnya yang saling berjauhan.

 

Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai konsep threshold atau batasan skor untuk kopi specialty dan menimbulkan kewaspadaan akan nilai yang bisa sengaja digelembungkan oleh beberapa pihak. Dari sektor ritel seperti Erwin Yang dari Ubru Kopi menyampaikan kekhawatirannya: “Bagaimana kita memastikan nilai skor yang keluar dari form sekarang itu tidak akan menjadi “gimmick” buat jualan. Kalau seperti COE kan ada panelis dan orang yang jaga panelisnya. Kepentingannya jelas dan ada di ruang terkontrol. Kalau ini, kepentingannya bisa sangat beragam.”

 

 

Konsep “threshold” memang masih menjadi perdebatan besar di kalangan pelaku kopi. Apakah karena belum menemukan cara untuk tetap mempertahankan batasan antara kopi specialty dan non-specialty di protokol baru ini, atau, mungkinkah cara pikir pelaku kopi terhadap konsep threshold ini yang perlu diubah? Seperti penjelasan Uden Banu, prosesor dari Klasik Beans Cooperative berikut ini, “memindahkan pola pikir kita dari formulir lama ke formulir baru perlu sering latihan. Perbedaan skor yang lebar juga mungkin karena kita belum terbiasa menempatkan diri kita sebagai pasar atau memprediksi kesukaan market.”

 

Yannis Apostolopoulos menjawab pertanyaan terkait threshold dan skor dalam CVA di Puntang Jawa Barat.

 

Protokol CVA 2024 memang tidak secara eksplisit menyebutkan apakah konsep threshold masih relevan. Namun, SCA tampaknya menekankan bahwa skor tidak lagi menjadi satu-satunya acuan dalam menilai kualitas kopi. Sebaliknya, penilaian lebih diarahkan pada atribut unik dan preferensi pasar. Hal ini terlihat dari pernyataan Yannis Apostolopoulos saat menjawab pertanyaan tentang potensi hilangnya peran specialty threshold di masa depan, di dalam diskusi di Puntang, Jawa Barat pada Desember 2024. .

 

“Protokol 2004 memiliki peran besar dalam mendorong peningkatan kualitas kopi. Namun, kopi kini telah berkembang menjadi minuman yang menawarkan pengalaman “indulgent”. Kami berupaya membuat protokol yang lebih relevan dengan perkembangan sains, teknologi, dan tren saat ini. Selain itu, kami ingin mengurangi praktik perdagangan yang mengaitkan skor secara langsung dengan harga. Tujuannya adalah menciptakan paradigma baru dalam penciptaan nilai, sebagaimana yang terjadi di industri wine—tidak ada skor tunggal untuk menilai wine tertentu—atau pada restoran Michelin Star sekalipun. Ke depan, kopi pun akan seperti itu. CVA berupaya menciptakan alat yang memungkinkan komunikasi lebih efektif dalam industri, sekaligus menggeser fokus perdagangan dari korelasi 1:1 antara skor dan harga.”

 

Sumber :

1. The Specialty Coffee Association. (2022). Understanding and Evolving the Specialty Coffee Association Coffee Value Assessment System: Results of the 2020-2021 Cupping Protocol User Perception Study and Proposed Evolution.

2. Berny Mier Y Teran, J. C. (2022). How Do Cuppers Cup? Evaluating and Evolving Elements of the SCA Cupping Protocol.

3. The Specialty Coffee Association. (2024). A System to Assess Coffee Value: Understanding the SCA’s Coffee Value Assessment. June 2024.

 

 

Narasumber :

1. Pamela Chng, Authorized SCA Trainer, Co-founder Bettr Group, President Specialty Coffee Association 2024.

2. Uden Banu, Coffee Processor Klasik Bean Cooperative

3. Wienda Mooriswahin Ravhinarrazi, Business Operations Manager Skynine Coff

4. Erwin Yang, Ubru Kopi

5. Hideo, Curious People Roastery

6. Yannis Apostolopous, CEO Specialty Coffee Association

 

Contributor :

BCE | Ratna Yuriasari

Brand Strategist, Coffee writer in BCE and Drink Deep Substack Page.

Ratna.yuriasari@gmail.com

 

 

Menuju Era CVA: Upaya Memperluas Penciptaan Nilai di Setiap Rantai Nilai

Dalam industri kopi, penilaian nilai umumnya berfokus pada skor fisik dan rasa sebagai standar utama. Namun, sejumlah penelitian dan pengalaman pelaku industri menunjukkan bahwa atribut lain—seperti kondisi daerah asal dan metode pengolahan—juga berperan penting dalam menentukan nilai kopi. Konsumen, produsen, roaster, trader, hingga importir kerap membutuhkan informasi yang lebih beragam untuk mendukung pengambilan keputusan pembelian secara lebih menyeluruh.

 

Eko Purnomowidi (Klasik Beans Cooperative), pelaku kopi di hulu, berbagi pengalaman tentang kebutuhan pasar kopi internasional yang melampaui sekadar skor dalam penilaian kopi.

 

Eko Purnomowidi, seorang pelaku industri kopi dari Klasik Beans, mengungkapkan bahwa pembeli internasional lebih sering mencari deskripsi profil rasa, sertifikasi, kuantitas, dan dokumen pengiriman daripada sekadar skor. Bahkan ketika skor diketahui, pembeli tetap mengaitkannya dengan atribut lain yang lebih relevan, seperti identitas perkebunan, tahun panen, informasi metode pengolahan, informasi varietas kopi, informasi keberlanjutan, dan sertifikasi.

 

Studi tentang program Cup of Excellence (CoE) selama 2004–2015 oleh Traore (1) juga menunjukkan bahwa atribut ekstrinsik, seperti reputasi negara asal, varietas kopi, dan metode pengolahan, memainkan peran penting dalam menentukan harga kopi spesialti. Meskipun skor rasa menjadi dasar penilaian, keputusan pembelian sering kali dipengaruhi oleh atribut lain, seperti metode pengolahan honey atau varietas tertentu. Studi ini menegaskan bahwa atribut ekstrinsik dapat memberikan nilai tambah yang signifikan, bahkan dalam sistem penilaian yang berbasis blind tasting.

 

Ted Fischer, dalam bukunya Making Better Coffee (2), menyoroti bahwa gelombang ketiga kopi, yang menekankan kualitas dan keaslian, sering kali tidak memberikan manfaat signifikan bagi produsen kecil. Ia menuliskan kisah petani Maya di dataran rendah Guatemala yang menghadapi tantangan dalam menciptakan nilai di luar cita rasa dan atribut fisik kopi. Saat itu, kopi dari dataran tinggi Huehuetenango, yang dikenal dengan kualitas Strictly Hard Bean (SHB), sangat diminati pasar global karena keunggulan terroir-nya. Namun, petani Maya di dataran rendah, yang tidak memiliki modal untuk berpindah lokasi, sulit bersaing dengan standar pasar Global Utara yang mengutamakan atribut material seperti ketinggian dan cita rasa tertentu.

 

Ted Fischer berpendapat bahwa selama penciptaan nilai masih terkonsentrasi, petani kecil tetap terpinggirkan karena keterbatasan alat, pengetahuan, dan akses pasar untuk mengubah atribut material maupun simbolis kopi mereka menjadi nilai ekonomi. Karena itu, penciptaan nilai di luar cita rasa dan fisik menjadi sangat penting. Produsen kecil membutuhkan pendekatan yang lebih inklusif, di mana atribut simbolis seperti cerita asal-usul, metode pengolahan tradisional, atau upaya keberlanjutan dapat dihargai.

 

Paradigma ini yang kemudian mendorong SCA selain mengeluarkan formulir deskriptif dan afektif, juga mengintegrasikan perangkat ekstrinsik ke dalam CVA, yang diharapkan membuka peluang penciptaan nilai lebih luas di setiap rantai nilai kopi. CVA memungkinkan katalogisasi atribut ekstrinsik secara lebih rinci yang menarik perhatian pasar yang lebih luas. Informasi seperti varietas kopi, metode pengolahan, dan upaya keberlanjutan dapat diintegrasikan sejak awal dalam formulir penilaian. Sementara pada protokol SCA 2004, tidak ada ruang untuk mengkatalogisasi atribut-atribut ekstrinsik kopi secara lebih rinci. Catatan non- sensori mungkin hanya menjadi catatan pinggir (margins), bukan pada bagian utama formulir, sehingga cupper cenderung fokus hanya pada skor dan rasa kopi.

 

Dengan hadirnya formulir ekstrinsik, konsumen diharapkan bisa memahami konteks rasa yang mereka sukai, juga menjadi peluang bagi produsen kecil tetap relevan dan kompetitif dengan cara budidaya, pemrosesan mereka, serta menemukan konsumen yang sesuai, yang membutuhkan konteks keseluruhan.

 

 

Saat artikel ini ditulis, formulir ekstrinsik masih dalam tahap beta (4), dan akan didukung dengan platform digital di mana atribut ekstrinsik akan dapat dikelola sebagai basis data yang memudahkan analisis dan penelusuran. Hal ini sejalan dengan SCA Coffee System Map 2020, yang memetakan seluruh ekosistem rantai nilai kopi specialty, dari budidaya hingga penyajian, sehingga CVA dapat menjadi alat untuk meningkatkan transparansi di seluruh rantai pasok.

 

Nilai setiap atribut kopi sangat dipengaruhi oleh perubahan paradigma dalam preferensi pasar dan inovasi industri. Standar kualitas pun dapat berubah di masa depan. Apa yang dianggap bernilai hari ini, mungkin akan bergeser dalam beberapa tahun ke depan, di mana atribut-atribut baru dapat muncul dan menjadi tolok ukur kualitas yang relevan.

 

Dalam konteks ini, sistem CVA dirancang agar penilaian kopi dapat terus beradaptasi dengan perubahan di industri. CVA membuka era baru dalam penilaian kopi, di mana penciptaan nilai tidak lagi bergantung pada skor rasa semata. Kehadiran perangkat intrinsik dan ekstrinsik memungkinkan semua pelaku dalam rantai nilai kopi, dari petani hingga konsumen, untuk berkontribusi dalam menciptakan nilai. Transformasi ini diharapkan tidak hanya memberikan informasi yang lebih kaya dan transparan bagi konsumen, tetapi juga membuka peluang bagi produsen kecil dan baru untuk menciptakan nilai dari berbagai aspek yang mungkin sebelumnya terabaikan.

 

Sumber Pustaka

1. Traore, M., Togo, What Explains Specialty Coffee Quality Scores and Prices : A Case Study From The Cup of Excellence Program, 2018

2. Fischer, F., Edward., Making Better Coffee, 2022

3. Fischer, F., Edward., Quality and Inequality, Socio-Economic Review, 2019

4. Specialty Coffee Association, “Evolving the Extrinsic Assessment: Literature Review, Survey Results, and Beta Proposal (April 2024)”, 2024

Narasumber

1. Eko Purnomowidi, Founder Klasik Beans Cooperative Contributor :

BCE | Ratna Yuriasari

Brand Strategist, Coffee writer in BCE and Drink Deep Substack Page.

Ratna.yuriasari@gmail.com