Final World Brewers Cup 2025: George Jinyang Peng Juara Dunia, Bayu Prawiro Ukir Sejarah untuk Indonesia

Panggung final World Brewers Cup 2025 di Jakarta International Convention Center mempertemukan sembilan penyeduh terbaik dunia. Dalam dua babak penentuan—Open Service dan Compulsory Service—mereka menyeduh dua kali: satu cangkir dengan kopi pilihan terbaik mereka, satu lagi dengan kopi misterius yang harus diolah tanpa narasi dan tanpa petunjuk.

 

Open Service: Ritual Penyeduhan Penuh Cerita

 

Pada babak pertama, para finalis membawa kopi andalan masing-masing dan menyajikannya dengan performa maksimal. Setiap seduhan memuat kepribadian, filosofi, dan teknik khas mereka.

 

George Jinyang Peng dari Tiongkok tampil presisi dan sistematis. Ia menjelaskan korelasi suhu terhadap flavor dalam kopi—mulai dari pemilihan kopi, pendekatan sangrai, metode seduh, hingga penyajian akhir. Raul Rodas dari Guatemala membawa tema intensitas dan kejernihan, tampil dengan elegan dan penuh kontrol.

 

Bayu Prawiro dari Indonesia tampil tenang dan penuh kendali. Ia menyajikan kombinasi Geisha Panama dan Excelsa dari Sukawangi dalam pendekatan “fotografi dalam seduhan” — mengaplikasikan prinsip fotografi dalam menangkap momen sensorik melalui kopi.

 

Andrea Batacchi dari Italia tampil memukau dengan tema tentang mimpi, mengaitkan pengalaman pribadi tentang mimpinya dengan kopi dan seduhannya. Justin Bull dari Amerika Serikat mengusung konsep hybrid yang diterapkan secara menyeluruh dalam alat, proses, dan narasi. Carlos Escobar dari Kolombia menyentuh sisi emosional dengan tema “former farmer”, membicarakan keberlanjutan dalam industri kopi.

 

Elysia Tan dari Singapura membawakan presentasi yang fresh dengan lego dan pendekatan membangun rumah—mendesain struktur rasa layaknya merancang arsitektur. Alireza dari Turki tampil solid dengan tema tentang waktu; setelah tiga tahun tertunda akibat kendala visa, ia akhirnya tampil di panggung dunia. Lakis Psomas dari Swedia menutup sesi dengan tema transformasi, menampilkan teknik unik reverse bloom yang inovatif.

 

Compulsory Service: Ketika Teknik Berbicara

 

Babak kedua, Compulsory Service, adalah ujian sejati. Semua finalis diberi kopi yang sama dari sponsor resmi: 32/DO Coffee dari Bali, Indonesia. Mereka menyeduh tanpa mengetahui detail proses, varietas, atau asal, dengan grinder dan air standar dari panitia.

 

Sebagian besar memilih Hario Switch untuk pendekatan immersion atau hybrid:

 

  • Alireza menggabungkan Hario Switch dengan Drip Assist dan menggunakan teknik dua kali tuang (double pour immersion).

 

  • Lakis Psomas menggunakan Switch berbahan keramik, menggabungkan perkolasi dan immersion dengan dilution di akhir.

 

  • Carlos Escobar memakai Switch dan Drip Assist, serta melakukan agitasi tambahan melalui pengadukan dengan sendok.

 

  • Andrea Batacchi memakai Switch dengan teknik full immersion, dua termin adukan sendok, lalu menambahkan air di tahap akhir.

 

  • George menggunakan pendekatan unik: air disimpan dalam termos, lalu dituangkan ke kopi dan direndam dalam Switch sebelum dibuka.

 

  • Elysia Tan memilih CT62 Transit, melakukan sizing, regrinding, serta teknik pendinginan dengan Paragon Ball, lalu menambahkan air (dilution).

 

  • Justin Bull menggunakan April Hybrid Brewer tanpa dilution, mengandalkan keseimbangan antara perkolasi awal dan immersion akhir.

 

  • Bayu Prawiro menggunakan Switch dengan teknik full immersion, diaduk 10 kali, lalu diselesaikan dengan dilution.

 

  • Raul Rodas menggabungkan hybrid perkolasi dan immersion menggunakan Switch, tanpa pengenceran air tambahan.

 

Hasil Akhir: George Juara Dunia, Bayu Runner-up Dunia

Setelah dua babak penilaian yang ketat, inilah hasil akhir World Brewers Cup 2025:

 

  • George Jinyang Peng – China
    Open Service: 367.00 | Compulsory: 152.00 | Total: 519.00

 

  • Bayu Prawiro – Indonesia
    Open Service: 362.00 | Compulsory: 148.00 | Total: 510.00

 

  • Carlos Escobar – Colombia
    Open Service: 357.00 | Compulsory: 148.00 | Total: 505.00

 

  • Elysia Tan – Singapore
    Open Service: 377.00 | Compulsory: 118.00 | Total: 495.00

 

  • Andrea Batacchi – Italy
    Open Service: 341.00 | Compulsory: 142.00 | Total: 483.00

 

  • Justin Bull – United States
    Open Service: 334.00 | Compulsory: 130.00 | Total: 464.00

 

  • Lakis Psomas – Sweden
    Open Service: 322.00 | Compulsory: 135.00 | Total: 457.00

 

  • Alireza – Turkey
    Open Service: 325.00 | Compulsory: 122.00 | Total: 447.00

 

  • Raul Rodas – Guatemala
    Open Service: 319.00 | Compulsory: 121.00 | Total: 440.00

 

Penutup: Cangkir Terbaik Lahir dari Ketulusan

 

Final World Brewers Cup di Jakarta menegaskan satu hal: menyeduh kopi bukan sekadar soal alat atau biji eksotis. Ini adalah soal kejujuran terhadap rasa, kemampuan membaca karakter kopi, dan keberanian menyampaikan sesuatu lewat medium yang tak bersuara—namun mampu menyentuh siapa pun, di mana pun.

 

Dan hari ini, dari panggung Jakarta, cerita itu ditutup dengan nama George. Namun dunia juga mencatat nama lain: Bayu, dari Indonesia—yang menyeduh tak hanya untuk mencetak skor, tapi untuk menyampaikan bahwa Indonesia tak hanya negara produsen kopi, tapi juga memiliki penyeduh yang berkualitas.

Hari Kedua World Brewers Cup Jakarta: 20 Penyeduh Terakhir dan 9 Finalis Menuju Panggung Penentuan

Gelombang kedua kompetitor World Brewers Cup 2025 resmi tampil hari ini di Jakarta International Convention Center. Sebanyak 20 penyeduh terakhir menutup babak penyisihan dua hari dengan intensitas yang tak kalah dari hari sebelumnya. Dari benua Amerika hingga Asia Tenggara, setiap peserta membawa bukan hanya kopi terbaik, tetapi juga semangat, eksperimen, dan cerita yang menjembatani tempat asal mereka dengan panggung dunia.

 

Kopi, Identitas, dan Rasa yang Diperjuangkan

 

Geisha kembali menjadi varietas primadona di hari kedua penyisihan—sama seperti hari pertama, lebih dari 70% peserta hari ini memilih Geisha sebagai kopi andalan mereka. Namun, kehadiran peserta seperti Martin Guayasamin dari Ekuador yang menyeduh Typica Mojerado dari Finca Maputo, Thiago Sabino dari Brasil dengan Yellow Catuai dari Casa da Brasa Farm, Raul Rodas dari Guatemala dengan El Injerto, dan Mannuel Pinnola dari Venezuela yang memperkenalkan kopi dari Finca Rosario menunjukkan bahwa World Brewers Cup bukan sekadar soal kopi terbaik, melainkan tentang representasi tanah kelahiran.

 

Dari Indonesia, Bayu Prawiro tampil dengan percaya diri. Ia menyeduh kombinasi Geisha Panama dan Excelsa dari Sukawangi—dengan upaya artistik yang ia sebut sebagai “fotografi dalam seduhan”. Tak hanya menampilkan teknik yang rapi, Bayu juga menyampaikan pesan tersirat tentang bagaimana kopi lokal Indonesia memiliki tempat di panggung global.

 

Elysia Tan, kompetitor dari Singapura, juga menghadirkan kopi Indonesia dalam presentasinya. Ia menggabungkan Geisha dari Panama dengan Liberika dari Temanggung dalam kerangka konsep yang menganalogikan menyeduh kopi sebagai membangun rumah—dari fondasi hingga detail exterior.

 

Sementara itu, peserta seperti Eduard Inocencio dari Qatar, Suki Ma dari Swiss, dan Laura Coe dari Spanyol menyuguhkan pengalaman yang lebih personal dan reflektif, menjadikan kopi sebagai
bahasa untuk menyampaikan gagasan tentang mimpi, takdir, dan cinta.

 

Alat, Teknik, dan Imajinasi

 

Eksplorasi proses pascapanen terus berlanjut. Hybrid CM Washed, Thermal Shock, dan Mossto Natural menjadi pendekatan yang memperluas spektrum rasa hari ini. Peralatan seduh yang digunakan menunjukkan tren kuat pada hybrid dripper, seperti Hario Switch dan April Hybrid Brewer, yang mendominasi panggung.

 

Beberapa peserta bahkan membawa dripper buatan sendiri. Allen Chen dari Taiwan dan Luca Croce dari Inggris, misalnya, tampil dengan alat custom yang memberi dimensi baru dalam kontrol ekstraksi. Dripper pour-over seperti Graycano, Orea, dan Hario Flow juga menjadi pilihan yang banyak digunakan, menandakan pergeseran selera terhadap alat-alat yang lebih moderni.

 

Tidak ketinggalan, inovasi juga hadir dalam drinkware. Two-way cups, fantasy cups, hingga harmony cups menunjukkan bahwa pengalaman minum kopi tak hanya berhenti di lidah—tetapi juga melibatkan sentuhan, visual, dan cerita yang menyertainya.

 

Inilah 9 Finalis World Brewers Cup 2025

 

Setelah seluruh penyeduh tampil, panitia resmi mengumumkan sembilan nama yang akan melaju ke babak final pada 17 Mei 2025:

Alireza – Turki

Lokis Psomas – Swedia

Raul Rodas – Guatemala

George Jinyang Peng – Cina

Carlos Escobar – Kolombia

Andrea Batacchi – Itali

Elysia Tan – Singapura

Bayu Prawiro – Indonesia

Justin Bull – Amerika

 

Penutup: Menuju Hari Penentuan

 

Babak final akan digelar dalam dua format: Open Service dan Compulsory Service. Di satu sisi, para finalis akan kembali menyeduh kopi pilihan mereka. Di sisi lain, mereka akan dihadapkan pada kopi misterius yang belum pernah mereka cicipi sebelumnya—disajikan tanpa nama, tanpa informasi, dan hanya bisa dihadapi dengan insting, pengetahuan, dan kepekaan sensorik.

 

Inilah ujian sejati dari seorang penyeduh manual: menyampaikan sesuatu tanpa kata-kata, dengan medium yang universal namun kompleks—secangkir kopi.

 

Sembilan finalis telah menyeduh dengan keberanian dan dedikasi. Besok, mereka akan menyeduh sekali lagi—bukan sekadar untuk menang, tetapi untuk mengukir sejarah. Dan mungkin saja, sang juara tahun ini datang dari kejutan. Atau barangkali, dari seseorang yang sudah kita kenal sejak hari pertama: Bayu, dari Indonesia.

Hari Pertama World Brewers Cup Jakarta: 30 Seduhan, 30 Perspektif tentang Kopi Dunia

Jakarta International Convention Center berubah menjadi altar sakral kopi dunia pada 15 Mei 2025. Di hari pertama penyisihan World Brewers Cup—bagian dari World of Coffee Asia yang pertama kali digelar di Indonesia—sebanyak 30 penyeduh dari berbagai negara menaiki panggung bukan sekadar untuk menyajikan kopi, melainkan juga untuk menyampaikan cerita, warisan, dan penemuan dari asal negaranya masing-masing.

 

Selama dua hari penyisihan, semua peserta diberi kesempatan menyajikan kopi pilihan mereka dalam format Open Service. Mereka bebas memilih biji, metode, alat, bahkan narasi. Dan dari 30 kompetitor hari pertama, setiap orang tampil dengan filosofi yang tidak kalah kompleks dari kopi itu sendiri.

 

Spektrum Asal dan Proses

 

Geisha tetap menjadi varietas primadona di panggung World Brewers Cup—lebih dari 70% peserta hari pertama memilih Geisha sebagai kopi andalan mereka. Varietas ini datang dari kebun-kebun legendaris seperti Janson, Esmeralda, Totumas, hingga Mikava. Namun menariknya, Geisha juga mulai muncul dari negara-negara non-tradisional, seperti Filipina, yang untuk pertama kalinya memperkenalkan Geisha lokal dalam kompetisi ini.

 

Selain Geisha, beberapa peserta membawa varietas langka lainnya. Carlos Escobar dari Kolombia, misalnya, menyeduh Maracaturra dari negaranya sendiri. Ti Phan dari Vietnam tampil dengan narasi kuat tentang kopi lokal—membawa Liberica Vietnam dan menyandingkannya dengan Sidra dan Geisha, sebagai upaya mendefinisikan ulang citra kopi Vietnam di mata dunia.

 

Jonathan Mendoza dari El Salvador menunjukkan keberanian meracik identitas rasa negaranya lewat tiga kopi berbeda: SL28, Orange Geisha, dan Ethiopia Geisha. Tren membawa lebih dari satu kopi dalam satu presentasi memang kian terlihat—termasuk juga dalam bentuk blend, yang digunakan oleh sekitar 40% peserta hari pertama. Mereka memadukan kopi dari kebun atau bahkan negara berbeda untuk menciptakan struktur rasa yang lebih kompleks.

 

Ragam proses pascapanen pun mencerminkan spektrum pendekatan—dari klasik seperti washed dan natural, hingga eksperimental seperti cold fermentation, hydro honey, dan co-ferment. Tom Hutchins dari Australia, misalnya, menyajikan Sudan Rume dari Kolombia yang melalui proses co-ferment bersama Enigma Hops yang spesial diambil dari negara asalnya sebelum akhirnya diinokulasikan. Inovasi-inovasi ini tidak hanya memperkaya profil rasa, tetapi juga membuka diskusi baru tentang kontrol mikroba, stabilitas fermentasi, dan peran sains dalam eksplorasi cita rasa kopi.

 

Yang tak kalah mengesankan adalah semangat beberapa peserta yang secara sadar memilih membawa kopi dari negara asal mereka sendiri—sebuah pernyataan kebanggaan dan upaya memperkenalkan terroir lokal ke panggung dunia. Kolombia, El Salvador, Bolivia, Panama, Vietnam, dan Filipina menjadi contoh negara-negara yang diwakili tak hanya oleh individu, tetapi juga oleh biji kopi tanah mereka sendiri. Di balik setiap cangkir, ada semangat kolektif untuk membawa pulang perhatian dunia pada asal mula rasa.

 

Ketika Sains Bertemu Imajinasi: Alat, Gagasan, dan Seni Seduh di Panggung Dunia

 

Salah satu daya tarik utama dari World Brewers Cup adalah pertemuan antara presisi ilmiah dan ekspresi artistik. Setiap penyeduh bukan hanya bertarung dengan teknik dan waktu, tetapi juga memperlakukan setiap cangkir sebagai medium cerita dan kreativitas. Lokis Psomas dari Swedia, misalnya, memperkenalkan pendekatan “Reverse Bloom”—membalik urutan blooming untuk membangun struktur rasa baru. Di sisi lain, Sungduk Kim dari Korea Selatan menjadikan proses menyeduh sebagai metafora tumbuh kembang anak, menyandingkan kopi dengan gagasan tentang lingkungan sehat dan masa depan yang berkelanjutan.

 

Tak sedikit kompetitor yang menyilangkan kopi dengan disiplin lain: Eric So dari Hong Kong memadukan kopi dan musik dalam narasi “harmony,” George dari China mengeksplorasi relasi antara suhu dan rasa, sementara Liza Skrypnyk dari Ukraina bereksperimen dengan pemanas V60 berbahan tembaga untuk mengatur dinamika rasa. Beberapa bahkan menciptakan alat mereka sendiri: Binocular dripper dari Mariam Erin dari UAE yang menggunakan teknik wet blending, serta Ti Phan dari Vietnam juga memodifikasi Vietnam drip menjadi dripper baru yang mengakomodasi karakter kopi kontemporer. Tak kalah menarik Daiki Hatakeyama dari Jepang yang menampilkan penyeduhan dengan cloth filter tradisional namun tetap berbasis kopi spesialti.

 

Eksplorasi alat seduh pun sangat luas. Nama-nama seperti Hario, Origami, dan Orea masih mendominasi, tapi turut hadir produsen dripper baru seperti Graycano, UFO, dan berbagai dripper custom-made yang hanya dikenal di lingkaran komunitas terbatas. Melodrip dan Sibarist tampaknya telah menjadi protokol baru dalam mengatur aliran air dan tekstur seduhan, sementara Server Cyclone dari Icosa menjadi server pilihan terbanyak hari ini. Untuk urusan drinkware, para kompetitor menunjukkan keberanian yang sama—dari sensory cup buatan Origami, two-way cups, hingga fantasy cups dan gelas-gelas rancangan khusus untuk mendukung narasi rasa mereka.

 

Menanti Sisa Kompetitor dan Babak Final

 

Masih ada 20 peserta lagi yang akan tampil di hari kedua penyisihan. Mereka akan menghadirkan kisah baru—barangkali lebih subtil, lebih liar, atau lebih tenang—tapi tetap dengan tujuan yang sama: menyeduh kopi yang mampu menyentuh nalar dan rasa secara bersamaan.

 

Final akan digelar pada 17 Mei dengan tambahan Compulsory Service, babak di mana semua peserta mendapat kopi yang sama tanpa tahu identitasnya, lalu harus menyeduh dan menyajikannya secara adil. Di situlah teknis akan diuji murni, tanpa narasi dan biji unggulan.

 

Catatan Penutup

 

Hari pertama World Brewers Cup 2025 di Jakarta bukan sekadar kompetisi. Ia adalah arsip hidup dari perkembangan budaya seduh global, tempat di mana setiap cangkir mengandung makna, dan setiap tetes menyampaikan sesuatu—tentang asal, keahlian, dan keberanian membayangkan ulang masa depan kopi.

Menuju Era CVA: Standar Baru Penilaian Kopi

Coffee Value Assessment (CVA), sistem penilaian kopi yang dikembangkan selama empat tahun oleh SCA, mengeluarkan versi terbarunya pada Juni 2024 (1). Versi ini diupayakan untuk digunakan lebih luas hingga menemui versi finalnya di tahun 2025.

 

 

Coffee Value Assessment (CVA) adalah sistem penilaian kopi terbaru yang dirancang oleh Specialty Coffee Association (SCA) untuk menjawab kebutuhan industri yang terus berkembang. Setelah melalui proses pengembangan selama empat tahun, CVA meluncurkan protokol cupping dan berbagai formulir penilaian versi terbaru pada Juni 2024.

 

Meskipun telah diperkenalkan dalam versi Alpha dan Beta, adopsi sistem CVA di kalangan pelaku kopi masih menunjukkan perkembangan bertahap. Sebagian pelaku industri, mulai dari produsen hingga barista, masih dalam tahap mengeksplorasi manfaat dan urgensi CVA. Ada yang telah mengintegrasikannya dalam kegiatan sehari-hari dan kompetisi, sementara yang lain masih melihatnya sebagai formulir opsional. Selain itu, sebagian pelaku industri masih merasa lebih nyaman dengan protokol penilaian lama yang telah menjadi standar selama lebih dari dua dekade.

 

Protokol Coffee Value Assessment (CVA) saat ini tengah memasuki tahap akhir pengembangan. Versi 2024 yang telah dirilis mencakup bagian-bagian yang bersifat provisional, yang berarti sudah dapat digunakan secara terbatas namun masih terbuka untuk perubahan berdasarkan hasil riset, pengujian, dan umpan balik dari pelaku industri kopi. Selain itu, beberapa bagian masih dalam versi beta. Menurut Kim Elena Ionescu, Board of Director yang berperan dalam konseptualisasi dan penulisan protokol CVA, proses riset, pengujian, dan pengumpulan umpan balik terus berlanjut, dengan target merilis versi final, terutama untuk penilaian ekstrinsik, pada tahun 2025.

 

 

SCA tampaknya berupaya mendorong adopsi CVA secara lebih luas melalui serangkaian inisiatif, termasuk pelatihan, lokakarya, dan juga telah mulai digunakan dalam berbagai ajang kejuaraan resmi, seperti Barista Championship, Brewers Cup, dan Roasting Championship. Penggunaan CVA di kompetisi- kompetisi ini menunjukkan adanya pengakuan formal terhadap sistem penilaian baru tersebut. Belum lama ini pula, SCA mengumumkan bahwa mulai tahun ini program Q Grader akan sepenuhnya berbasis pada CVA, dan CQI tidak lagi terlibat dalam operasional Q Grader Program, menjadi momen yang cukup mengejutkan bagi banyak pihak dan menentukan keberadaan CVA secara signifikan. Keputusan ini secara resmi menandai bahwa CVA kini benar-benar ditetapkan sebagai instrumen utama dalam uji cita rasa kopi bagi para Q Grader.

 

Mengingat semakin formalnya penggunaan CVA, pemahaman yang mendalam tentang sistem ini menjadi semakin penting bagi seluruh pelaku industri kopi. Selain itu, karena topik ini pun sedang hangat-hangatnya diperbincangkan, terutama sejak pengumuman SCA tentang CVA di program Q Grader, BCE berupaya untuk mengumpulkan data secara menyeluruh—mulai dari mengikuti kelas perkenalan CVA yang diadakan di 5758 Coffee Lab bersama Pamela Chng, berkorespondensi dengan SCA Board saat kunjungan mereka di Puntang, Jawa Barat, hingga terus memantau perkembangan terbaru.

 

Melalui seri artikel ini, kami ingin membagikan hasil pengamatan tersebut secara objektif. Artikel-artikel ini akan mengeksplorasi sejarah perkembangan cupping protocol, alasan SCA menciptakan CVA, perubahan signifikan dalam protokol, tantangan dalam proses penilaian kopi, serta relevansi CVA bagi penciptaan nilai kopi di masa depan.

 

Sumber Pustaka:

1. Specialty Coffee Association. A System to Assess Coffee Value:

Understanding the SCA’s Coffee Value Assessment (June 2024). Contributor :

BCE | Ratna Yuriasari

Brand Strategist, Coffee writer in BCE and Drink Deep Substack Page.

Ratna.yuriasari@gmail.com

 

 

Menuju Era CVA : Mengapa Protokol Lama Tidak Lagi Cukup?

Empat tahun lalu, SCA memulai riset dan pengembangan protokol penilaian kopi baru untuk mengantisipasi kebutuhan industri kopi yang terus berkembang. Hasil evaluasi SCA terhadap protokol cupping SCA 2004 menunjukkan bahwa meskipun telah digunakan selama puluhan tahun, protokol lama ini semakin dirasa tidak relevan dengan dinamika inovasi dalam produksi dan konsumsi kopi saat ini. Didorong oleh perubahan paradigma dalam industri kopi, SCA memperkenalkan Coffee Value Assessment (CVA). Sistem ini disebut sebagai sistem penilaian kopi yang high definition, karena dirancang untuk mengevaluasi kopi dari berbagai aspek, baik intrinsik maupun ekstrinsik. Penilaian intrinsik melibatkan tiga perangkat formulir physical, sensory descriptive, dan affective, sementara penilaian ekstrinsik hanya satu formulir.

 

 

Perubahan dalam protokol penilaian kopi bukanlah hal yang terjadi sekali saja, melainkan bagian dari evolusi panjang dalam sejarah perdagangan kopi. Pada abad ke-19, kualitas kopi awalnya dinilai berdasarkan atribut fisik seperti ukuran biji, warna, dan keseragaman. Standar ini muncul untuk memenuhi kebutuhan perdagangan di masa itu, di mana biji kopi yang tidak sesuai standar sering dianggap inferior. Namun, perkembangan terus berlanjut ke penilaian cita rasa,yang diperkenalkan oleh Clarence E. Bickford (2). Penilaian cita rasa ini membuka peluang bagi biji kopi berukuran kecil untuk turut diperhitungkan karena ternyata memiliki cita rasa unggul.

 

Selanjutnya pengujian cita rasa ini dikembangkan untuk mengakomodasi berbagai origin spesialti yang dilengkapi dengan handbook, protokol, flavor wheel, dan formulir cupping yang dirilis dari 1997 hingga 2016. Namun protokol dan perangkat penilaian kopi ini secara tidak sengaja mendorong pelaku lebih fokus pada skor numerik tunggal untuk mengartikulasi kualitas. Protokol cupping SCA 2004 juga sebenarnya masih mendasarkan penilaian pada konsep kemurnian seperti proses washed dan karakteristik terroir dari ketinggian tanam, sehingga metode pengolahan berbeda atau yang berasal dari ketinggian rendah seringkali kurang mendapatkan penilaian lebih baik (3).

 

 

Seiring berkembangnya industri, cara pandang terhadap produksi dan konsumsi kopi terus berubah. Dalam hal produksi, kopi kini semakin dihargai karena keunikan profil rasanya yang dihasilkan dari berbagai inovasi pengolahan, mirip dengan bagaimana bir dan wine mengistimewakan proses produksinya.

 

Sementara itu, dari sisi konsumsi, kopi telah menjadi minuman yang menawarkan pengalaman beragam. Hal ini didorong oleh pertumbuhan pasar kopi specialty yang semakin beragam, mencakup penikmat kopi klasik, pelanggan gerai kopi premium dengan tambahan rasa, hingga penggemar kopi “third wave” yang selalu mencari pengalaman unik dari berbagai metode pengolahan. Perubahan paradigma ini mendorong SCA mengkaji ulang relevansi protokol lama yang telah lebih dari dua dekade tidak mengalami pembaruan, termasuk memperbarui definisi Specialty Coffee.

 

Kopi specialty adalah kopi atau pengalaman minum kopi yang diakui karena atributnya yang khas, dan karena atribut tersebut, memiliki nilai tambah yang signifikan di pasar.

 

Definisi baru ini dibuat karena sebelumnya terdapat banyak interpretasi terkait definisi kopi specialty. Ada yang mendefinisikan kopi specialty sebagai kopi dengan 0 cacat kategori 1 dan maksimal lima cacat kategori 2, sementara lainnya mengaitkannya dengan skor di atas 80 poin, ada juga yang menyebutkan kopi yang diolah dengan proses yang unik, atau kopi yang masuk kategori “fancy”. Interpretasi-interpretasi ini muncul karena definisi specialty coffee yang lama hanya mengacu pada “biji kopi berkualitas tinggi”, sementara kata “kualitas” di sini bermakna luas dan tidak memiliki ukuran yang jelas (3).

 

Untuk mengatasi hal ini, SCA mengembangkan pendekatan baru yang dapat lebih terukur, yaitu memanfaatkan elemen atribut yang khas (distinctive) pada kopi untuk mengevaluasi kualitas kopi. Atribut-atribut ini mencakup elemen intrinsik seperti bentuk fisik, ukuran, skor, dan deskripsi profil rasa, serta elemen ekstrinsik seperti asal perkebunan, pengolahan, sertifikasi, kelengkapan persyaratan dagang, penjenamaan, dan atribut-atribut lainnya tentang kopi tersebut.

 

Evolusi ini menunjukkan bagaimana standar dan protokol penilaian kopi pada akhirnya perlu terus beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Protokol lama mungkin sudah terbukti efektif di masa lalu, namun berkembangnya inovasi pengolahan dan preferensi konsumen di pasar kopi global perlu direspon dengan sistem yang menurut Cyntia Ludviksen, COO SCA, dapat mendistribusikan ekuitas nilai yang lebih merata di semua rantai nilai, di mana setiap pelaku dan konsumen bisa sama-sama menemukan dan menciptakan “value” dari beragam kopi.

 

Sumber Pustaka

1. Specialty Coffee Association. A System to Assess Coffee Value:
Understanding the SCA’s Coffee Value Assessment (June 2024).

2. Schoenholt, Donald N. “The Man Who Discovered Central America.” The Free Library, 1 November 1993. https://www.thefreelibrary.com/The man who discovered Central America.-a014608186.

3. Specialty Coffee Association. Towards a Definition of Specialty Coffee: Building an Understanding Based on Attributes, An SCA White Paper, 2021.

 

Narasumber :

1. Kim Elene Ionescu, Board of SCA, Chief Sustainability & Knowledge Development Officer Specialty Coffee Association

2. Cyntia Ludviksen, COO Specialty Coffee Association Contributor :

BCE | Ratna Yuriasari

Brand Strategist, Coffee writer in BCE and Drink Deep Substack Page.

Ratna.yuriasari@gmail.com

 

 

Menuju Era CVA: Apa yang Berubah, Apa yang Bertahan

Di atas meja cupping, kualitas kopi biasanya dinilai oleh para cupper yang telah terlatih menggunakan formulir tunggal, di mana semua atribut sensori dicatat dan dikalkulasikan menjadi skor tunggal. Protokol dan formulir cupping SCA 2004 telah mendorong para produsen untuk meningkatkan kualitas kopi sekaligus mengubah persepsi konsumsi kopi menjadi lebih premium. Kini, konsumsi kopi specialty memiliki konsumen yang semakin beragam, membawa preferensi yang kompleks dan berbeda-beda. Penilaian kopi tampaknya tidak lagi terpusat pada satu indikator utama.

 

Sejak protokol dan formulir cupping baru CVA diperkenalkan, para cupper kini tidak hanya disibukkan dengan dua lembar perangkat cupping; descriptive dan affective, tetapi juga dihadapkan pada perubahan pola pikir dalam cara menilai kopi.

 

Cupping Bersifat Objektif, Subjektif, Intersubjektif?

 

 

 

Banyak pelaku kopi menganggap cupping sebagai metode evaluasi kopi yang objektif, terutama karena prosesnya dilakukan oleh cupper terlatih (well-trained) atau menggunakan perangkat yang dirancang oleh asosiasi terkemuka seperti SCA. Namun, anggapan ini perlu ditinjau lebih kritis. Menurut studi persepsi yang dilakukan SCA di 2020-2021 (1:12), apa yang sering dianggap sebagai “objektif” dalam cupping sebenarnya adalah hasil persepsi kolektif yang muncul dari kesepakatan mayoritas di antara para cupper, bukan dari realitas objektif secara ilmiah.

 

Riset yang dilakukan bersama World Coffee Research dan Coffee Science Foundation dilakukan untuk menguji tingkat objektivitas dan subjektivitas formulir cupping 2004. Melibatkan 1.500 cupper dari berbagai rantai nilai, sekitar separuh responden menganggap formulir ini sebagian besar subjektif, sementara separuh lainnya menilainya lebih objektif. Responden juga merujuk pada konsep “intersubjektivitas,” yakni kemampuan cupper untuk mencerminkan preferensi kelompok atau pasar tertentu. Ini menunjukkan bahwa hasil cupping adalah gabungan antara subjektivitas individu dan kesepakatan kolektif (intersubjektivitas), bukan murni objektivitas. (1:12).

 

Karena itu, CVA memperkenalkan dua formulir cupping: sensory descriptive dan affective. Kedua formulir ini memiliki fungsi yang berbeda. Pada formulir deskriptif, fokusnya adalah mendokumentasikan atribut-atribut kopi secara objektif berdasarkan panduan referensi yang tercantum di kolom Check All That Apply (CATA), yang diadaptasi dari SCA Flavor Wheel 2016. Sebaliknya, formulir affective lebih berhubungan dengan interpretasi subjektif, menilai kopi berdasarkan preferensi pasar tertentu atau selera individu.

 

 

Wienda dari Skynine Coffee, menggambarkan pendekatan ini dengan sangat jelas setelah mengikuti pelatihan CVA bulan November 2023:

 

“Di formulir descriptive, saya membayangkan diri saya sebagai alat ukur yang objektif untuk mendata berbagai atribut di kopi dan mencatatkannya secara deskriptif, sementara di formulir affective, saya membayangkan diri saya sebagai alat ukur untuk menilai tingkat preferensi market yang saya targetkan.”

 

Para roaster dalam pelatihan CVA pun cenderung memberikan respon positif. Mereka akan menggunakan formulir descriptive dan affective untuk kebutuhan profil dan preferensi konsumen, seperti Hideo, roaster dari Curious People yang merasa formulir descriptive akan memudahkannya “merekam perubahan profil beans yang datang ke roastery.” Sementara menurutnya peran formulir affective “membukakan kesempatan roaster dan konsumen untuk menemukan kekurangan dan kelebihan profil tersebut”.

 

Pendekatan dual-formulir ini memungkinkan cupper untuk menjalankan dua peran sekaligus: sebagai pengamat objektif dalam analisis deskriptif dan sebagai interpretator preferensi dalam formulir afektif. Dengan pendekatan ini, proses cupping diharapkan dapat memenuhi kebutuhan beragam pemangku kepentingan di industri kopi.

 

 

Selain mengakomodasi berbagai peran objektif dan subjektif cupper di sepanjang rantai nilai, menurut Pamela Chng, pengajar sekaligus Presiden SCA, CVA dirancang untuk mengatasi keterbatasan protokol lama yang sebelumnya membutuhkan dua versi formulir berbeda untuk arabika dan robusta. CVA menurutnya adalah “satu sistem yang dapat digunakan oleh semua pemain kopi untuk menilai jenis varietas kopi apa pun, baik arabika maupun robusta, apapun proses pengolahannya.”

 

Mengganti Kalibrasi Menjadi Penyelarasan

 

Selama ini, banyak cupper yang beranggapan bahwa untuk mencapai penilaian yang konsisten dan dapat diterima secara objektif, mereka perlu melakukan “kalibrasi”, yaitu menyesuaikan penilaian dengan standar yang disepakati dalam kelompok atau pasar kopi spesialti, meskipun setiap cupper mungkin memiliki preferensi pribadi terhadap rasa kopi.

 

Namun, dalam konteks ilmu sensorik, kalibrasi memiliki makna yang berbeda. Kalibrasi biasanya dilakukan oleh panelis sensoris terlatih dalam lingkungan yang sangat terkendali, seperti di laboratorium, menggunakan standar atau panduan sensorik yang sangat spesifik sebagai referensi. Sementara itu, praktik yang dilakukan oleh para cupper dalam menyesuaikan penilaian mereka satu sama lain lebih tepat disebut sebagai “penyelarasan” (alignment). Penyelarasan ini lebih berfokus pada memastikan bahwa cupper lain merasakan atribut yang sama atau berbeda dalam kopi yang dinilai.

 

Saat pertemuan SCA di Puntang, Kim Eleba Ionescu menyarankan agar praktik penyelarasan hanya dilakukan pada formulir descriptive, di mana para cupper dapat memastikan bahwa penilaian atribut kopi yang dilakukan oleh masing- masing cupper dapat saling berkesesuaian. Sementara itu, penyelarasan tidak diperlukan dalam formulir affective karena penilaian skor adalah preferensi individu (1 : 53).

 

Yang Bertahan, Berubah dan Hilang : Body, Sweetness, Balance, Overall, Uniformity & Clean Cup Body X Mouthfeel Ada beberapa perbedaan signifikan dari protokol lama dengan pertimbangan yang cukup masuk akal, dimulai dari penggantian istilah “Body” dengan “Mouthfeel”. Dalam protokol CVA, konsep body, yang sebelumnya mencakup berat minuman di mulut dan teksturnya, diperluas menjadi mouthfeel. Perubahan ini tidak hanya menambahkan elemen tactile seperti “rough”, “oily”, “smooth”, “mouth-drying”, dan “metallic”, tetapi juga bertujuan untuk menjembatani perbedaan budaya dalam memahami sensasi berat dan tekstur minuman (3: ). Budaya Barat mungkin lebih terbiasa dengan deskripsi sensasi halus dalam minuman karena rutin mengkonsumsi minuman seperti anggur atau teh herbal. Sebaliknya, budaya Timur yang sering berinteraksi dengan minuman bertekstur kaya, seperti sup kental atau minuman berbasis susu, mungkin memiliki pendekatan berbeda terhadap atribut body. Dengan istilah mouthfeel, CVA seolah memberikan ruang bagi para cupper untuk mendeskripsikan atribut sensorik kopi dengan lebih kaya dan relevan, terlepas dari pengaruh latar belakang budaya.

 

Sweetness Atribut “Sweetness” yang sebelumnya dinilai secara diskriminatif dengan total 10 poin dari lima cup, kini dinilai berdasarkan intensitas. Walaupun sweetness bisa dipengaruhi dari aroma, dalam protokol CVA 2024 jelas ditetapkan bahwa penilaian sweetness adalah persepsi rasa manis pada mulut atau retronasal yang dipicu oleh minuman.

 

Balance X Overall Bagian “Balance” telah dihilangkan dari formulir cupping baru dan digabungkan ke dalam kategori “Overall”, yang kini hanya menjadi bagian dari formulir affective. Perubahan ini dilakukan karena balance dianggap bersifat subjektif, sehingga lebih sesuai jika dinilai dalam konteks overall atau keseluruhan kesan cupper. Pada formulir cupping sebelumnya, kategori “balance” sering menimbulkan berbagai interpretasi. Sebagian cupper menganggap kopi yang balance adalah kopi tanpa karakter dominan—tidak terlalu asam, terlalu fermentasi, atau kekurangan body. Namun, definisi ini sering kali membingungkan karena parameter seperti “terlalu asam” sulit diukur secara objektif. Ada pula pandangan bahwa balance merujuk pada harmoni rasa yang tetap bisa dinikmati tanpa ada elemen yang terlalu menonjol. Interpretasi ini pada akhirnya tumpang tindih dengan kategori overall, yang secara umum mencerminkan tingkat kepuasan cupper terhadap kopi tersebut. Oleh karena itu, memasukkan balance ke dalam overall oleh SCA dianggap langkah yang logis untuk menyederhanakan proses evaluasi.

 

Uniformity “Uniformity” kini dialihkan ke formulir affective dengan format yang tetap, yaitu penilaian diskriminatif menggunakan skala 10 poin dari lima cangkir. Namun istilah uniformity diganti menjadi “Non-Uniform” untuk lebih menyoroti jumlah cangkir yang tidak seragam. Peran non-uniform ini sebagai indikator awal adanya potensi defect (cacat) dan tetap dikurangi 2 poin per satu cangkir yang tidak seragam.

 

Clean Cup Istilah “Clean Cup” benar-benar dihilangkan dalam formulir baru. Clean Cup seharusnya digunakan untuk menilai adanya potensi kontaminasi pada minuman yang bisa berasal dari cacat atau defect pada kopi. Namun, karena istilah “Clean Cup” ini bisa memiliki berbagai interpretasi mengenai “cleanliness”, yang sering kali bias terhadap kualitas rasa, maka istilah tersebut digantikan dengan “Defective Cups”. Untuk mempermudah dan memperjelas penilaian, kini digunakan kolom Check All That Apply (CATA), yang mencakup berbagai jenis kontaminasi atau cacat sehingga penilaian akan menjadi lebih akurat. Prinsip pengurangan poin antara formulir cupping sebelumnya dan yang sekarang sebenarnya tetap sama. Sebelumnya, defect terbagi menjadi dua kategori: taint (dikurangi 2 poin) dan fault (dikurangi 4 poin). Namun, dalam formulir affective CVA, kategori ini disederhanakan. Kini, hanya ada dua kategori utama: “Clean Cup” dengan pengurangan 2 poin per cangkir, dan “Defective Cups” dengan pengurangan 4 poin per cangkir.

 

Skala Skor Lebar & Kaburnya Konsep Threshold Perubahan yang mungkin membuat cupper paling enggan mengadopsi CVA adalah kaburnya batasan atau threshold antara kopi spesialti dan non-spesialti. Sebelumnya, cupper terbiasa dengan parameter penilaian skor 80 poin ke atas sebagai penanda kopi spesialti. Pada formulir cupping 2004, skala penilaian memiliki rentang antara 6 hingga 9,75 sehingga batasan paling rendah (jika tanpa cacat) mencapai skor 72, sementara skor tertinggi 98,25.

 

Berbeda dengan CVA, formulir cupping baru ini memiliki rentang skor lebih lebar. Kopi yang sebelumnya mendapat skor rendah pada formulir cupping 2004 bisa memperoleh skor yang lebih rendah lagi pada formulir affective CVA (dengan skor terendah 58 tanpa cacat). Sebaliknya, kopi yang sebelumnya memiliki skor tinggi bisa memperoleh nilai yang lebih tinggi lagi (paling tinggi 100). Bahkan, pada pelatihan CVA bulan November 2023, ada kopi yang dianggap biasa-biasa saja bisa mencapai skor 90+. Ini karena skala penilaian di formulir affective CVA menggunakan rentang 9 poin untuk setiap bagian, dari “extremely low” hingga “extremely high”.

 

Para peserta pelatihan CVA pada November 2023 juga merasa kebingungan dengan variasi jarak skor dari cupper satu ke lainnya yang saling berjauhan.

 

Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai konsep threshold atau batasan skor untuk kopi specialty dan menimbulkan kewaspadaan akan nilai yang bisa sengaja digelembungkan oleh beberapa pihak. Dari sektor ritel seperti Erwin Yang dari Ubru Kopi menyampaikan kekhawatirannya: “Bagaimana kita memastikan nilai skor yang keluar dari form sekarang itu tidak akan menjadi “gimmick” buat jualan. Kalau seperti COE kan ada panelis dan orang yang jaga panelisnya. Kepentingannya jelas dan ada di ruang terkontrol. Kalau ini, kepentingannya bisa sangat beragam.”

 

 

Konsep “threshold” memang masih menjadi perdebatan besar di kalangan pelaku kopi. Apakah karena belum menemukan cara untuk tetap mempertahankan batasan antara kopi specialty dan non-specialty di protokol baru ini, atau, mungkinkah cara pikir pelaku kopi terhadap konsep threshold ini yang perlu diubah? Seperti penjelasan Uden Banu, prosesor dari Klasik Beans Cooperative berikut ini, “memindahkan pola pikir kita dari formulir lama ke formulir baru perlu sering latihan. Perbedaan skor yang lebar juga mungkin karena kita belum terbiasa menempatkan diri kita sebagai pasar atau memprediksi kesukaan market.”

 

 

Protokol CVA 2024 memang tidak secara eksplisit menyebutkan apakah konsep threshold masih relevan. Namun, SCA tampaknya menekankan bahwa skor tidak lagi menjadi satu-satunya acuan dalam menilai kualitas kopi. Sebaliknya, penilaian lebih diarahkan pada atribut unik dan preferensi pasar. Hal ini terlihat dari pernyataan Yannis Apostolopoulos saat menjawab pertanyaan tentang potensi hilangnya peran specialty threshold di masa depan, di dalam diskusi di Puntang, Jawa Barat pada Desember 2024. .

 

“Protokol 2004 memiliki peran besar dalam mendorong peningkatan kualitas kopi. Namun, kopi kini telah berkembang menjadi minuman yang menawarkan pengalaman “indulgent”. Kami berupaya membuat protokol yang lebih relevan dengan perkembangan sains, teknologi, dan tren saat ini. Selain itu, kami ingin mengurangi praktik perdagangan yang mengaitkan skor secara langsung dengan harga. Tujuannya adalah menciptakan paradigma baru dalam penciptaan nilai, sebagaimana yang terjadi di industri wine—tidak ada skor tunggal untuk menilai wine tertentu—atau pada restoran Michelin Star sekalipun. Ke depan, kopi pun akan seperti itu. CVA berupaya menciptakan alat yang memungkinkan komunikasi lebih efektif dalam industri, sekaligus menggeser fokus perdagangan dari korelasi 1:1 antara skor dan harga.”

 

Sumber :

1. The Specialty Coffee Association. (2022). Understanding and Evolving the Specialty Coffee Association Coffee Value Assessment System: Results of the 2020-2021 Cupping Protocol User Perception Study and Proposed Evolution.

2. Berny Mier Y Teran, J. C. (2022). How Do Cuppers Cup? Evaluating and Evolving Elements of the SCA Cupping Protocol.

3. The Specialty Coffee Association. (2024). A System to Assess Coffee Value: Understanding the SCA’s Coffee Value Assessment. June 2024.

 

 

Narasumber :

1. Pamela Chng, Authorized SCA Trainer, Co-founder Bettr Group, President Specialty Coffee Association 2024.

2. Uden Banu, Coffee Processor Klasik Bean Cooperative

3. Wienda Mooriswahin Ravhinarrazi, Business Operations Manager Skynine Coff

4. Erwin Yang, Ubru Kopi

5. Hideo, Curious People Roastery

6. Yannis Apostolopous, CEO Specialty Coffee Association

 

Contributor :

BCE | Ratna Yuriasari

Brand Strategist, Coffee writer in BCE and Drink Deep Substack Page.

Ratna.yuriasari@gmail.com

 

 

Menuju Era CVA: Upaya Memperluas Penciptaan Nilai di Setiap Rantai Nilai

Dalam industri kopi, penilaian nilai umumnya berfokus pada skor fisik dan rasa sebagai standar utama. Namun, sejumlah penelitian dan pengalaman pelaku industri menunjukkan bahwa atribut lain—seperti kondisi daerah asal dan metode pengolahan—juga berperan penting dalam menentukan nilai kopi. Konsumen, produsen, roaster, trader, hingga importir kerap membutuhkan informasi yang lebih beragam untuk mendukung pengambilan keputusan pembelian secara lebih menyeluruh.

 

 

Eko Purnomowidi, seorang pelaku industri kopi dari Klasik Beans, mengungkapkan bahwa pembeli internasional lebih sering mencari deskripsi profil rasa, sertifikasi, kuantitas, dan dokumen pengiriman daripada sekadar skor. Bahkan ketika skor diketahui, pembeli tetap mengaitkannya dengan atribut lain yang lebih relevan, seperti identitas perkebunan, tahun panen, informasi metode pengolahan, informasi varietas kopi, informasi keberlanjutan, dan sertifikasi.

 

Studi tentang program Cup of Excellence (CoE) selama 2004–2015 oleh Traore (1) juga menunjukkan bahwa atribut ekstrinsik, seperti reputasi negara asal, varietas kopi, dan metode pengolahan, memainkan peran penting dalam menentukan harga kopi spesialti. Meskipun skor rasa menjadi dasar penilaian, keputusan pembelian sering kali dipengaruhi oleh atribut lain, seperti metode pengolahan honey atau varietas tertentu. Studi ini menegaskan bahwa atribut ekstrinsik dapat memberikan nilai tambah yang signifikan, bahkan dalam sistem penilaian yang berbasis blind tasting.

 

Ted Fischer, dalam bukunya Making Better Coffee (2), menyoroti bahwa gelombang ketiga kopi, yang menekankan kualitas dan keaslian, sering kali tidak memberikan manfaat signifikan bagi produsen kecil. Ia menuliskan kisah petani Maya di dataran rendah Guatemala yang menghadapi tantangan dalam menciptakan nilai di luar cita rasa dan atribut fisik kopi. Saat itu, kopi dari dataran tinggi Huehuetenango, yang dikenal dengan kualitas Strictly Hard Bean (SHB), sangat diminati pasar global karena keunggulan terroir-nya. Namun, petani Maya di dataran rendah, yang tidak memiliki modal untuk berpindah lokasi, sulit bersaing dengan standar pasar Global Utara yang mengutamakan atribut material seperti ketinggian dan cita rasa tertentu.

 

Ted Fischer berpendapat bahwa selama penciptaan nilai masih terkonsentrasi, petani kecil tetap terpinggirkan karena keterbatasan alat, pengetahuan, dan akses pasar untuk mengubah atribut material maupun simbolis kopi mereka menjadi nilai ekonomi. Karena itu, penciptaan nilai di luar cita rasa dan fisik menjadi sangat penting. Produsen kecil membutuhkan pendekatan yang lebih inklusif, di mana atribut simbolis seperti cerita asal-usul, metode pengolahan tradisional, atau upaya keberlanjutan dapat dihargai.

 

Paradigma ini yang kemudian mendorong SCA selain mengeluarkan formulir deskriptif dan afektif, juga mengintegrasikan perangkat ekstrinsik ke dalam CVA, yang diharapkan membuka peluang penciptaan nilai lebih luas di setiap rantai nilai kopi. CVA memungkinkan katalogisasi atribut ekstrinsik secara lebih rinci yang menarik perhatian pasar yang lebih luas. Informasi seperti varietas kopi, metode pengolahan, dan upaya keberlanjutan dapat diintegrasikan sejak awal dalam formulir penilaian. Sementara pada protokol SCA 2004, tidak ada ruang untuk mengkatalogisasi atribut-atribut ekstrinsik kopi secara lebih rinci. Catatan non- sensori mungkin hanya menjadi catatan pinggir (margins), bukan pada bagian utama formulir, sehingga cupper cenderung fokus hanya pada skor dan rasa kopi.

 

Dengan hadirnya formulir ekstrinsik, konsumen diharapkan bisa memahami konteks rasa yang mereka sukai, juga menjadi peluang bagi produsen kecil tetap relevan dan kompetitif dengan cara budidaya, pemrosesan mereka, serta menemukan konsumen yang sesuai, yang membutuhkan konteks keseluruhan.

 

 

Saat artikel ini ditulis, formulir ekstrinsik masih dalam tahap beta (4), dan akan didukung dengan platform digital di mana atribut ekstrinsik akan dapat dikelola sebagai basis data yang memudahkan analisis dan penelusuran. Hal ini sejalan dengan SCA Coffee System Map 2020, yang memetakan seluruh ekosistem rantai nilai kopi specialty, dari budidaya hingga penyajian, sehingga CVA dapat menjadi alat untuk meningkatkan transparansi di seluruh rantai pasok.

 

Nilai setiap atribut kopi sangat dipengaruhi oleh perubahan paradigma dalam preferensi pasar dan inovasi industri. Standar kualitas pun dapat berubah di masa depan. Apa yang dianggap bernilai hari ini, mungkin akan bergeser dalam beberapa tahun ke depan, di mana atribut-atribut baru dapat muncul dan menjadi tolok ukur kualitas yang relevan.

 

Dalam konteks ini, sistem CVA dirancang agar penilaian kopi dapat terus beradaptasi dengan perubahan di industri. CVA membuka era baru dalam penilaian kopi, di mana penciptaan nilai tidak lagi bergantung pada skor rasa semata. Kehadiran perangkat intrinsik dan ekstrinsik memungkinkan semua pelaku dalam rantai nilai kopi, dari petani hingga konsumen, untuk berkontribusi dalam menciptakan nilai. Transformasi ini diharapkan tidak hanya memberikan informasi yang lebih kaya dan transparan bagi konsumen, tetapi juga membuka peluang bagi produsen kecil dan baru untuk menciptakan nilai dari berbagai aspek yang mungkin sebelumnya terabaikan.

 

Sumber Pustaka

1. Traore, M., Togo, What Explains Specialty Coffee Quality Scores and Prices : A Case Study From The Cup of Excellence Program, 2018

2. Fischer, F., Edward., Making Better Coffee, 2022

3. Fischer, F., Edward., Quality and Inequality, Socio-Economic Review, 2019

4. Specialty Coffee Association, “Evolving the Extrinsic Assessment: Literature Review, Survey Results, and Beta Proposal (April 2024)”, 2024

Narasumber

1. Eko Purnomowidi, Founder Klasik Beans Cooperative Contributor :

BCE | Ratna Yuriasari

Brand Strategist, Coffee writer in BCE and Drink Deep Substack Page.

Ratna.yuriasari@gmail.com