Catatan Harian Fauzan Ghilman di Wilton Benitez’s Advance Coffee Processing Class
Pada tanggal 19-23 Mei 2025 yang lalu, saya berkesempatan mengikuti kelas proses pascapanen lanjutan yang diadakan oleh Adena, bekerjasama dengan Bandung Coffee Exchange. Kelas ini menghadirkan Wilton Benitez, seorang pengolah kopi profesional dari Colombia yang terkenal dengan kopikopinya di bawah brand Granja Paraiso. Kelas diadakan di Puntang, menggunakan fasiltas pengolahan dan kopi dari Klasik Beans.
Berikut ini adalah catatan harian seorang Fauzan Ghilman
Hari Pertama: Menanam Ilmu di Tanah Kopi
Hari pertama kelas Advance Coffee Processing bersama Wilton Benitez dibuka dengan sambutan dari tim Bandung Coffee Exchange. Sebuah seremoni simbolik menandai dimulainya kelas ini: Wilton menanam pohon kopi, dan para peserta secara bergiliran memberikan tanah untuk menutupi akarnya—lambang bahwa kami semua bersepakat untuk menanam dan merawat pohon ilmu pengetahuan bersama-sama.
Kelas ini merupakan kolaborasi antara pendekatan ilmiah Coffee Quality Institute dan praktik pascapanen dari Granja Paraiso 92 di Kolombia. Sejak pembukaan, satu kalimat dari Wilton langsung membekas:
“We can improve coffee with technology.”
Itulah yang ingin kami buktikan selama lima hari ke depan.
Peserta dari Berbagai Negara
Kelas ini diikuti oleh peserta dari Indonesia dan beberapa negara lain, seperti Jerman, Taiwan, Vietnam, dan juga Thailand. Para peserta dari luar Indonesia juga memanfaatkan momentum perhelatan World of Coffee Jakarta yang selesai 2 hari sebelum kelas ini dimulai untuk memaksimalkan kunjungan mereka ke Indonesia.
Dari Perkenalan ke Praktik
Setelah pembukaan dan perkenalan, peserta dibagi menjadi tiga kelompok untuk bekerja bersama selama proses berlangsung. Kegiatan pertama adalah praktek di area wet mill Klasik Beans Puntang, menggunakan ceri kopi varietas Lini S dan Ateng yang “diimpor” dari area kebun binaan Klasik Beans di wilayah Ciwidey. “Impor” ceri ini terutama disebabkan panen di daerah Puntang yang pada tahun ini kurang baik secara kuantitas.
Setiap kelompok menerima alat-alat ukur seperti brix meter, water quality tester untuk pH dan kandungan mineral. Semua alat harus dikalibrasi terlebih dahulu. Setelahnya, masing-masing kelompok menerima 40 kg ceri kopi. Kami mengambil sampel 1 liter ceri untuk diklasifikasikan ke dalam empat kategori: underripe, semi-ripe, ripe, dan overripe cherries.
Wilton menekankan pentingnya mencatat data secara rinci—log yang lengkap akan membantu mereplikasi proses jika hasilnya bagus.
Sortasi, Pembersihan, dan Fermentasi
Proses sortasi memakan waktu cukup lama. Ceri semiripe dan ripe yang telah lolos sortir dilanjutkan ke tahap pencucian dan perambangan. Ceri yang mengambang akan dipisahkan, karena biasanya kualitasnya lebih rendah.
Tahapan selanjutnya adalah pembersihan mikroba, bagian yang sangat krusial. Wilton menawarkan tiga metode:
1. Thermalshock (air panas 70–90°C selama 1 menit),
2. Sodium hypochlorite (0.1%),
3. Ozonasi dengan gas ozon.
Tujuannya jelas: mengeliminasi mikroorganisme liar agar hanya mikroba yang kita tambahkan yang berkembang selama fermentasi—membuat hasil lebih terukur dan dapat diprediksi.
Dalam praktikum ini, kami menggunakan dua metode langsung: sodium hypochlorite dan ozon. Ceri dimasukkan ke dalam air sebanyak 20 liter, lalu ditambahkan 166 ml larutan sodium hypochlorite. Untuk ozon, digunakan alat 2000 mg/h selama 5 menit dalam larutan air 20 liter.
Setelah pembersihan, kopi dikupas dan dimasukkan ke dalam bioreaktor yang telah disterilkan. Setiap kelompok diberi tugas fermentasi yang berbeda:
● Kelompok 1: Pichia kyuliveri (highlight acidity) + booster mineral & enzim.
● Kelompok 2: Lactobacillus plantarum (highlight sweetness) + booster berupa garam mineral.
● Kelompok 3: Saccharomyces cerevisiae (fermentasi cepat, 1 hari) + booster enzim pektin.
Setelah inokulasi, kami mengukur awal parameter cairan dalam bioreaktor: pH dan kandungan mineral.
Menutup Hari Pertama
Hari pertama berakhir pukul 19.00. Kami beristirahat di penginapan yang disediakan. Panitia menyajikan berbagai hidangan tradisional Jawa Barat, dari camilan hingga makanan berat. Tersedia juga stasiun seduh kopi dan ruang ngobrol santai—tempat kami bertukar cerita tentang kopi, tanah, dan fermentasi.
Hari pertama bukan hanya tentang mengenal proses, tapi juga belajar bahwa di balik rasa yang kompleks ada kerja ilmiah yang sistematis. Dan kami baru saja memulainya.
Hari Kedua: Dari Mikrobiologi ke Cita Rasa
Setelah sarapan pagi, kelas kembali dibuka oleh Wilton Benitez. Hari ini, ia memulai dengan menyampaikan prinsip dasar dari advance processing. Menurut Wilton, kualitas kopi ditentukan oleh empat faktor utama: varietas, tanah, iklim, dan proses. Istilah “advance” dalam konteks ini berarti semakin banyak kontrol yang kita miliki selama proses berlangsung—mulai dari evaluasi dan sanitasi ceri, pemilihan tipe fermentasi dan mikroorganisme, hingga teknik pengeringan yang digunakan.
Wilton kembali menegaskan bahwa untuk bisa mereplikasi hasil proses yang baik, kita harus memiliki sebanyak mungkin informasi dari setiap tahap. Dokumentasi dan pengukuran adalah kunci.
Mengecek Fermentasi dan Demonstrasi Thermalshock
Usai pemaparan, peserta kembali ke milling untuk mengecek kondisi fermentasi dalam bioreaktor masing-masing kelompok. Kami mengamati parameter seperti pH, TDS, aroma, dan rasa cairan fermentasi. Di antara tiga kelompok, fermentasi paling aktif ditunjukkan oleh kelompok 3 yang menggunakan Saccharomyces cerevisiae—terlihat dari katup bioreaktor yang membuka dan menutup dengan cepat. Sementara kelompok 1 menunjukkan fermentasi yang sangat lambat, dan kelompok 2 fermentasinya bahkan nyaris tidak aktif.
Setelah mencatat observasi, Wilton mengumpulkan seluruh peserta untuk melakukan demonstrasi thermalshock. Ia menyarankan metode ini jika ingin melakukan fermentasi yang panjang. Selain sebagai metode sterilisasi, thermalshock juga dapat meningkatkan rasa manis dan membuka pori-pori ceri sehingga lebih responsif terhadap fermentasi.
Kami langsung mempraktikkan metode ini, dan benar saja—ceri yang telah melalui thermalshock terasa lebih manis dibanding sebelum diproses. Ceri hasil thermalshock ini kemudian diserahkan ke panitia untuk diproses lebih lanjut, sementara Wilton juga meminta agar dibuat satu batch proses washed klasik sebagai kontrol untuk membandingkan hasil dengan fermentasi menggunakan yeast.
Memahami Mikroorganisme, Air, dan Pengeringan
Sesi berikutnya berlangsung di kelas. Wilton menjelaskan secara mendalam tentang mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi kopi: yeast, bacteria, dan mold. Ia menekankan bahwa mold harus dihindari karena berbahaya bagi kesehatan. Setiap mikroorganisme bekerja optimal dalam kisaran pH dan suhu tertentu—parameter yang harus selalu dikontrol oleh seorang processor.
Selain itu, kualitas air juga menjadi perhatian penting, terutama dalam proses pencucian. Kandungan mineral dan pH air bisa memengaruhi hasil akhir kopi. Wilton mengaitkannya dengan faktor ketiga dalam advance processing: climate. Bahkan, proses drying atau pengeringan tidak kalah penting. Salah satu referensi yang ia kutip adalah penelitian dari Yimara Martinez yang menunjukkan bahwa suhu pengeringan terbaik adalah 40°C, menghasilkan water activity 0.51—angka yang ideal untuk memperpanjang masa simpan green bean. Salah dalam drying bisa menghancurkan usaha ada proses fermentasi sebelumnya.
Menuju Rasa yang Bisa Dicicipi
Setelah sesi kelas, kami kembali ke milling untuk mencuci dan mengupas ceri dari bioreaktor masing-masing. Dari setiap batch, diambil 1 kg parchment coffee yang kemudian dikeringkan menggunakan dehydrator. Harapannya, pada hari terakhir kelas, seluruh peserta bisa mencicipi hasil dari proses fermentasi yang mereka kerjakan sendiri. Pada kesempatan ini, kami menggunakan mesin dehydrator merk Kris.
Hari kedua ditutup dengan rasa penasaran sekaligus antusias. Di deretan bioreaktor itulah, kopi mulai membangun karakternya—dan kami semua sedang menyaksikannya tumbuh.
Hari Ketiga: Dari Fermentasi Menuju Pemahaman Biologi Kopi
Hari ketiga dibuka dengan antusiasme tinggi dari para peserta. Sejak pagi, mereka tampak tak sabar memeriksa kondisi kopi hasil olahan fermentasi masing-masing yang tengah dikeringkan menggunakan mechanical dryer di ruang utama kelas.
Setelah pembukaan, kegiatan dimulai dengan pengukuran kadar air (moisture content) pada parchment yang sudah melalui proses pengeringan selama 15 jam. Hasilnya menunjukkan kadar air berada di angka 29%. Target akhir adalah 12%, di mana setelahnya kopi akan dikupas, disangrai, dan diseduh bersama untuk sesi evaluasi rasa.
Biologi Fermentasi: Dari Mucilage ke Metabolisme
Kelas dilanjutkan dengan sesi materi mendalam tentang fermentasi. Wilton membuka dengan menjelaskan bahwa tujuan awal fermentasi dalam kopi adalah memudahkan peluruhan mucilage dalam proses washed. Namun kini, fermentasi telah berkembang menjadi upaya intervensi biokimia kompleks yang memengaruhi karakter rasa secara langsung.
Kami diajak menyelami dunia biologi molekuler, termasuk pembahasan tentang glikolisis dan siklus Krebs—dua jalur metabolisme utama dalam fermentasi mikroorganisme:
- Glikolisis adalah proses pemecahan glukosa (gula sederhana) menjadi asam piruvat, menghasilkan energi dalam bentuk ATP dan reduktan NADH. Proses ini terjadi dalam sitoplasma mikroorganisme dan merupakan awal pembentukan senyawa aroma.
- Siklus Krebs (atau siklus asam sitrat) adalah jalur metabolik lanjutan yang terjadi di dalam mitokondria. Di sinilah energi diperoleh secara maksimal dan berbagai senyawa metabolit sekunder terbentuk, termasuk prekursor dari volatile compounds yang menentukan aroma dan rasa kopi.
Wilton menekankan bahwa dalam proses fermentasi, penting untuk menjaga embrio biji kopi tetap hidup. Jika embrio mati, proses metabolik internal kopi berhenti, dan rasa yang muncul di cangkir cenderung menjadi kecut tajam seperti cuka—indikasi dari fermentasi berlebihan atau tidak terkendali.
Volatile Compound dan Durasi Ideal Fermentasi
Salah satu atribut penting dalam kopi adalah volatile compounds—senyawa yang menguap dan membentuk aroma khas kopi. Proses fermentasi adalah fase krusial dalam pembentukan senyawa-senyawa ini. Melalui pemilihan jenis mikroba yang tepat, kita dapat mengarahkan fermentasi untuk menghasilkan by-product tertentu yang diinginkan dalam hasil seduh.
Salah satu kutipan Wilton yang menguatkan semangat kami hari itu adalah:
“It’s not easy, but it’s possible.”
Ia juga berbagi praktik terbaik: durasi fermentasi yang disarankan adalah 36–48 jam. Jika lebih dari itu, potensi rasa terroir kopi bisa hilang. Wilton menunjukkan bukti dari pengalamannya: ia pernah memfermentasi tiga varietas kopi berbeda—Geisha, Bourbon, dan Cattura—selama tiga bulan. Hasil akhirnya? Ketiganya memiliki rasa yang seragam: chocolate dan fruity, kehilangan identitas varietal mereka.
Enam Faktor Kunci Pengontrol Fermentasi
Untuk mengontrol fermentasi secara presisi, Wilton menyebut ada enam faktor penting yang wajib diperhatikan:
- Jumlah awal mikroorganisme (initial microbial population)
- Sumber makanan mikroba (nutrisi)
- Ketersediaan oksigen (aerob/anaerob)
- Suhu (temperature)
- pH (keasaman lingkungan fermentasi)
- Durasi fermentasi (time)
Dokumentasi yang detail dari keenam aspek ini menjadi dasar dalam membangun sistem fermentasi kopi yang konsisten dan bisa direplikasi.
Praktikum: Membuat Media Kultur Mikroba
Sore harinya, peserta memasuki sesi laboratorium untuk membuat culture media—media tanam bagi yeast dan bakteri. Semua proses dilakukan dengan protokol sterilisasi penuh. Peserta mengenakan jas lab, penutup kepala, sarung tangan, dan masker.
Hari ketiga ditutup dengan sebuah kalimat yang mengakar dari Wilton:
“People can solve problems if they have knowledge.”
Ilmu bukan hanya bekal, tapi alat untuk menyelesaikan persoalan. Dan dari dalam lab kecil di Puntang, kami mulai percaya bahwa cita rasa kopi bisa diubah—dengan ilmu, disiplin, dan ketelitian.
Hari Keempat: Dari Tanah ke Mikroskop
Hari keempat dimulai dengan kembali memeriksa kadar air (moisture content) dari parchment kopi yang tengah dikeringkan menggunakan mechanical dryer. Kadar air sudah jauh berkurang dan diperkirakan akan mencapai level ideal (sekitar 12%) keesokan harinya—cukup untuk disangrai dan diseduh bersama para peserta.
Praktikum Mikrobiologi: Mengkultur Mikroba Kopi
Sesi dilanjutkan di laboratorium. Setelah sehari sebelumnya membuat media kultur, hari ini kami melanjutkan praktikum untuk mengisolasi dan menumbuhkan mikroorganisme dari kopi. Kami menggunakan:
- Yeast segar, serta yeast komersial dari Hansen (Lactobacillus plantarum).
- Bakteri alami dari kopi, cairan mossto (hasil fermentasi sebelumnya), dan air bekas pencucian.
Dengan menggunakan alat laboratorium seperti cawan petri dan loop stick, kami melakukan inokulasi ke media kultur menggunakan metode goresan logaritmik (streaking technique)—metode dasar untuk mendapatkan koloni mikroba tunggal. Setiap tahapan dilakukan dengan sterilitas tinggi untuk menghindari kontaminasi silang.
Nutrisi Tanah dan Dampaknya pada Kualitas Kopi
Kelas dilanjutkan di aula dengan presentasi tentang tanah dan iklim sebagai dua dari empat faktor utama dalam advance coffee processing.
Wilton membagi nutrisi tanah menjadi dua kelompok:
- Makronutrien: Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Silika (Si)
- Mikronutrien: Zat Besi (Fe), Seng (Zn), Mangan (Mn), Kobalt (Co), Boron (B), Molibdenum (Mo)
Keseimbangan antara kedua kelompok nutrien ini penting. Ketidakseimbangan dapat memengaruhi kepadatan biji (bean density), ukuran biji, dan komposisi senyawa metabolit sekunder—yang pada akhirnya berdampak pada keasaman (acidity), manis (sweetness), dan karakter rasa kopi secara keseluruhan.
Beberapa nutrisi spesifik berkontribusi pada atribut rasa tertentu:
- N dan Mg berkontribusi pada produksi chlorogenic acid, yang menghasilkan sensasi fruity.
- K dan P dibutuhkan untuk produksi gula, berpengaruh pada sweetness dan body.
- Mg dan Ca mendukung produksi lipid dan trigliserida, memengaruhi mouthfeel.
- N mendukung pembentukan senyawa aroma.
Iklim dan Fase Perkembangan Ceri
Empat faktor utama iklim yang dibahas:
- Temperatur
- Kelembaban udara (humidity)
- Curah hujan (rainfall)
- Sinar matahari (sunlight)
Wilton menjelaskan bahwa iklim sangat memengaruhi perkembangan ceri kopi, khususnya pada empat fase penting:
- Pembungaan (flowering)
- Pengembangan buah (cherry development)
- Pra-matang (nearly ripe)
- Masa matang (ripe cherry)
Fase kedua sangat sensitif terhadap kelembaban. Saat pembungaan pun harus dipastikan kondisi tanaman sehat karena akan memengaruhi serapan nutrisi.
Sinar matahari juga memengaruhi laju pematangan (maturase). Jika terlalu cepat, produksi gula bisa terhambat. Oleh karena itu, Wilton menyarankan shading atau naungan sekitar 30%, untuk menjaga stabilitas iklim mikro dan mendukung mikroba tanah serta bahan organik.
Survei Lapangan: Tanah dan Agroforestri Puntang
Siang hari, peserta diajak ke kebun kopi Klasik Beans di Puntang, dipandu oleh Kang Uden. Kami mengambil sampel tanah dari beberapa blok lahan berbeda. Perjalanan menanjak cukup menantang karena kebun terletak di lahan curam dengan sistem agroforestry dalam hutan. Kang Uden juga menceritakan sejarah singkat kebun Puntang. Meski beberapa peserta sempat terpeleset, ini menjadi pengalaman lapangan yang seru dan berkesan.
Setelah kembali dan membersihkan diri, kami mengevaluasi tanah menggunakan soil test kit. Parameter yang diukur adalah:
- pH tanah: ideal antara 5–6.5
- Nitrogen (N): ideal di 100–200 ppm
- Fosfor (P): ideal di 15–25 ppm
- Kalium (K): ideal di 3–0.4 ml/100g tanah
Melihat Populasi Mikroba Lewat Mikroskop
Kelas dilanjutkan kembali di laboratorium. Kali ini, kami mengamati populasi mikroba yang telah diinokulasi sehari sebelumnya. Dengan menggunakan mikroskop dan kaca preparat, Wilton mengajarkan cara menghitung dan mengamati koloni mikroba, baik dari kelompok yeast maupun bakteri.
Malam harinya, panitia menggelar sesi kebersamaan yang hangat. Aroma barbeque dan pizza memenuhi udara, dan semua peserta larut dalam suasana santai yang berbeda dari keseriusan laboratorium siang tadi. Ada yang menari, ada yang duduk berbincang sambil menikmati makanan dan minuman. Malam itu, tak hanya ilmu yang bertumbuh, tapi juga persahabatan lintas negara yang terasa semakin kuat.
Dan ketika malam benar-benar larut, kami kembali mengingat apa yang kami lihat siang tadi di balik mikroskop—koloni mikroba yang tak kasatmata, namun bekerja secara nyata. Hari ini kami belajar bahwa mikroorganisme bukan sekadar objek uji coba, tetapi sekutu penting dalam proses membangun cita rasa. Dari fermentasi hingga tanah, mereka hadir sebagai arsitek tersembunyi dari secangkir kopi yang luar biasa.
Hari Kelima: Menyeduh Hasil, Menuai Pengetahuan
Hari kelima dimulai dengan kembali memeriksa kadar air pada parchment coffee yang telah dikeringkan. Setelah melalui proses mechanical drying selama beberapa hari, hasil pengukuran menunjukkan seluruh kopi telah mencapai kadar air ideal:
- Kontrol: 12.0%
- Grup 1 (Pichia kyuliveri): 11.9%
- Grup 2 (Lactobacillus plantarum): 11.8%
- Grup 3 (Saccharomyces cerevisiae): 11.8%
Seluruh batch kopi dinyatakan siap untuk tahap selanjutnya: hulling, yaitu proses pengupasan kulit kering dari biji kopi. Proses ini dilakukan di shelter Klasik Beans, di mana para peserta bisa menyaksikan langsung bagaimana hasil kerja tangan dan ilmu mereka kini menjelma menjadi green bean siap sangrai.
Proses roasting dilakukan dengan protokol yang telah disepakati agar tidak memberi pengaruh besar terhadap karakter rasa—karena fokus utama adalah membandingkan hasil fermentasi, bukan proses sangrainya.
Inspirasi dari Kolombia
Setelah sarapan, Wilton mengajak kami untuk mencicipi kopi-kopi hasil proses kelasnya di Kolombia. Kopi-kopi ini merupakan contoh nyata bagaimana fermentasi yang dikontrol dengan baik bisa menghasilkan rasa-rasa yang bersih, kompleks, dan presisi. Banyak peserta terdiam sejenak ketika mencicipinya—antara terkesima dan termotivasi.
Rasa bukan lagi semata urusan kebetulan atau warisan tanah. Rasa, ternyata, juga bisa dirancang. Kalimat ini seakan menjadi pembuka dari sesi cupping paling penting: kopi hasil fermentasi kami sendiri dari Puntang.
Sesi Cupping: Menilai Kopi yang Kami Fermentasi
Panitia menyiapkan sesi blind cupping dengan profesional. Semua peserta berdiri di sekitar meja cupping dengan pensil dan scoring sheet di tangan. Cangkir-cangkir berisi kopi hasil fermentasi kami disusun tanpa identitas, hanya diberi kode.
Hasilnya:
- Kopi Kontrol: Aroma brown sugar, caramel, spices, dan toasted nuts. Acidity rendah (blood orange), manis medium seperti brown sugar dan coconut milk. Mouthfeel sedikit kasar, aftertaste cenderung dry. Seimbang dan dapat diterima dengan baik. Disukai oleh 4 peserta, 5 lainnya kurang menyukainya.
- Kopi Grup 1 (Pichia kyulveri): Aroma purple floral, unripe banana, lychee, tropical fruit, dan lemongrass. Acidity cerah seperti citrus, sweetness medium. Mouthfeel tipis dengan tekstur sedikit kasar seperti kulit lemon. Disukai oleh 2 peserta, 7 kurang suka.
- Kopi Grup 2 (Lactobacillus plantarum): Aroma berries, toasted spice, lemongrass, dan watermelon skin. Acidity medium seperti green apple, disertai sedikit tannin seperti anggur. Mouthfeel paling berat di antara semua. Disukai oleh 2 peserta, 7 kurang suka.
- Kopi Grup 3 (Saccharomyces cerevisiae): Aroma perfumy, fruit candy, ripe mango. Acidity bright citrus dan soft malic. Sweetness tinggi seperti brown sugar. Profil rasa kompleks: pink guava, cranberry, wine gum, cola. Disukai oleh seluruh peserta tanpa kecuali.
Wilton tersenyum ketika melihat hasil akhir ini. Ia mengajak kami merefleksikan bagaimana satu strain mikroba bisa mengubah keseluruhan pengalaman minum kopi. Ia kembali menegaskan:
“We can improve coffee with technology. It’s not easy, but it’s possible—with knowledge and more control.”
Menutup Kelas, Menanam Ilmu
Kelas ditutup dengan sesi foto bersama dan pemberian penghargaan untuk seluruh peserta. Tidak hanya sekadar simbolik, tapi sebagai bentuk penghargaan atas pencarian ilmu yang serius namun menyenangkan. Tak lama kemudian, panitia membawa kembali pohon kopi yang kami tanam bersama di hari pertama.
Wilton dan seluruh peserta kembali berkumpul di tanah yang sama, di bawah langit yang sama, untuk kembali menanam pohon tersebut. Kali ini, bukan sekadar simbol pembukaan, melainkan sebagai ritus penanaman ulang ilmu pengetahuan—bahwa setiap insight, teori, dan praktik yang kami alami selama lima hari ini akan tumbuh, mengakar, dan menghasilkan buah baru di tempat kami masing-masing.
Kami pulang membawa lebih dari sekadar hasil fermentasi. Kami membawa pemahaman bahwa kopi bukan hanya soal rasa, tetapi soal struktur, data, kontrol, dan keberanian bereksperimen. Kopi bukan hanya hasil panen, tetapi juga hasil perhitungan dan ketelitian.
Dan di akhir perjalanan ini, kami memahami satu hal sederhana: bahwa mikroba—makhluk yang tak kasatmata—bisa menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan kenikmatan, antara teknologi dan budaya, antara tanah dan cangkir.
Inilah kopi masa depan—kopi yang ditanam dengan pengetahuan, diproses dengan kesadaran, dan niat yang baik.